Reporter: Azis Husaini, Filemon Agung | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Investasi tidak mungkin datang jika kita hanya menunggu. Investasi harus dijemput dengan berbagai cara. Presiden Joko Widodo dalam pertemuan dengan Kontan.co.id beberapa waktu lalu mengatakan bahwa periode kedua tidak ada lagi basa-basi. Semua kebijakan yang akan ditempuh adalah untuk mendatangkan investasi.
Sejalan dengan keinginan Presiden Joko Widodo soal percepatan masuknya investasi, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto juga ingin investasi hulu migas mengalir deras ke Indonesia. Mantan Direktur Utama Pertamina itu kini mempunyai dua tugas, mengawasi industri hulu migas dan juga mendatangkan investor hulu migas agar mereka mau melakukan eksplorasi di Indonesia untuk menambah cadangan migas.
Baca Juga: SKK Migas & ExxonMobil Berupaya Menggenjot Produksi Blok Cepu
Dwi menyebut kata “marketing” sebagai kunci mendatangkan para investor migas nan kakap agar mau melirik potensi migas di Indonesia yang masih sangat besar. Ada 74 cekungan yang masih memiliki potensi migas besar. Dari sana, Indonesia membutuhkan investor besar yang mau menaruh dananya untuk mencari cadangan migas dan memproduksinya.
Apalagi memang dalam IPA Convex 2019 yang akan diselenggarakan September nanti. Fokus isu yang akan dibahas adalah soal eksplorasi hulu migas di Indonesia. Untuk itu, sudah pasti mendatangkan investor adalah suatu kewajiban bersama.
Dwi Soetjipto menerangkan, dengan berbagai upaya SKK Migas untuk melakukan roadshow ke beberapa negara, hasilnya kini sudah terlihat meskipun masih dalam tahap studi. “POSCO, akan joint study mencari cadangan migas di Indonesia,” kata dia kepada Kontan.co.id dalam wawancara khusus, Kamis (4/8).
Sebagaimana diketahui, POSCO adalah perusahaan asal Korea Selatan, saat ini POSCO tengah berkongsi dengan Krakatau Steel untuk berbisnis baja. Apalagi saat ini banyak perusahaan tengah mencari diversifikasi bisnis untuk bisa bertahap.
Dia menjelaskan, bahwa setiap perusahaan di dunia kini sedang mencari peluang baru. Ini terbukti dari keinginan POSCO untuk masuk hulu migas di Indonesia. Artinya, potensi cadangan migas di Indonesia membuat mereka tertarik.
Dwi mengatakan, keinginan investor kembali datang ke Indonesia karena mendengar berjalannya proyek Lapangan Abadi, Blok Masela. Proyek dengan nilai US$ 19,8 miliar itu menjadi salah satu pemicu menggeliatnya bisnis hulu migas di Indonesia.
Meskipun memang masih ada beberapa pertanyaan dari investor di luar sana soal iklim bisnis di Indonesia. “Mereka tidak ingin seringnya aturan berubah,” imbuh dia.
Berikut wawancara Azis Husaini dan Filemon Agung Wartawan Kontan.co.id pada Kamis (4/8) lalu dengan Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto:
KONTAN: Bagaimana pendekatan ke investor saat ini, sebelumnya terkesan kaku?
DWI SOETJIPTO: SKK Migas ini bukan penguasa, kami pelayan. Sesungguhnya kita mesti melihat dari aspek bisnis, orang bisnis kan berpikir rasional. Kalau kita mencoba berdiskusi, pasti akan bertemu. Saya kan memang backgorund-nya bisnis jadi sama sudut pandangnya.
KONTAN: Anda sudah keliling ke investor, apa yang mereka inginkan?
DWI SOTJIPTO: Hampir semua investor yang saya temui di luar negeri ingin kondisi politik stabil, keamanan terjamin, regulasi tidak gampang berubah, kecepatan mengurus perizinan bisa dipangkas. Semua ini kan arahan bapak Presiden Joko Widodo. Semua yang investor inginkan saya paham. Jadi yang belum bisa menyesuaikan dengan keinginan Presiden dan investor segera mempersiapkan diri.
KONTAN: Apakah Anda bisa mendatangkan investasi besar lagi seperti Inpex di Masela?
DWI SOETJIPTO: Ini tantangan. Memang Masela adalah investasi terbesar sepanjang sejarah migas, hampir US$ 20 miliar (tepatnya US$ 19,8 miliar). Ada sih, Freeport Indonesia di underground mine tetapi itu kan sudah bertahap berjalan. Ini besar dan di wilayah timur.
KONTAN: Dari hasil roadshow ke beberapa investor apa yang didapat?
DWI SOETJIPTO: Kami kunjungan ke investor, O&G Research and Business Intelligence Company, O&G Service Company, Special Event di 5 negara. Untuk yang melihat data room ada 11 perusahaan, regional studies ada 4 perusahaan (data room) dan 15 perusahaan (non data room), joint studi area ada satu perusahaan, dan biiding round ada dua perusahaan.
KONTAN: Yang sedang joint study area siapa? dimana?
DWI SOETJIPTO: Ada POSCO, di sini mereka dengan Krakatau Steel membangun pabrik baja, sementara di dunia mereka punya pabrik petrokimia. Mereka memang besar di petrokimia. Di Indonesia mereka ekspansi ingin membuat perusahaan hulu migas. Mereka lihat ada peluang bisnis dan memang setelah mereka melihat data room migas di Indonesia, mereka tertarik. Jadi mereka nanti menggarap area yang masih "perawan" belum disentuh.
KONTAN: Aneh juga mereka yang bukan perusahaan hulu migas malah mau bisnis ini?
DWI SOETJIPTO: Memang, jadi mungkin mereka butuh akan kepastian hulu. Malah investasi hulu di Indonesia. Saya pernah meminta Pertamina untuk menguatkan bidang petrokimia, kan sudah ada hulu dan hilir, nah industri yang ditengahnya harus ada.
KONTAN: Selain POSCO, ada lagi?
DWI SOETJIPTO: Kami terus berusaha untuk terus melakukan berbagai upaya marketing. Sebab, ada hal yang cukup menarik bahwa kita punya 128 cekungan, yang di eksplorasi dan eksploitasi baru 54 cekungan, dan ada 74 cekungan yang belum digarap. Potensi pengeboran minyak tahap lanjut atau EOR di Indonesia itu juga banyak, ada 129 lapangan (15 wilayah kerja) dan bisa dihasilkan dari EOR 3,9 BnBO recoverable resources. Adapun komitmen kerja pastri dari proyek EOR sebesar US$ 446 juta. Kami juga mempercepat proyek-proyek EOR, yakni tahun 2019 ini field trial EOR di 2019, lapangan Tanjung Jatibarang dan Gemah, lalu early acces di WK Rokan untuk mempercepat proyek minas chemical EOR (surfactant).
KONTAN: Sudah ada perusahaan yang berminat untuk proyek EOR ini? Ini di lapangan Pertamina semua EOR-nya?
DWI SOETJIPTO: Benar, malah dengan adanya proyek EOR yang dicanangkan malah ada investor ingin masuk ke proyek ini. Nanti kita hitung-hitungan, kalau mereka masuk dengan dananya sendiri dan menghasilkan ya dibagi dua, tetapi kalau tidak ya tanggung mereka sendiri. Sama dengan pengelolaan lapangan marginal yang sudah tidak diurus Pertamina EP. Kami akan kerjasamakan dengan BUMD atau swasta. Skemanya sama, kalau menghasilkan dibagi dua ke negara dan kalau tidak menghasilkan ya tanggung sendiri biaya operasionalnya, tidak diganti.
KONTAN: Memang kalau tidak ada upaya percepatan produksi, berapa turunnya?
DWI SOETJIPTO: Bisa 20% turunya pertahun, decline secara alamiah. Tetapi dengan upaya yang kami lakukan bersama pemerintah kami harap hanya 3% turunnya. Upayanya misalnya, manajemen reservoir yang baik, eksekusi work program rutin secara massif dan agresif, percepatan perpajangan 22 WK yang akan expired, early access dan percepatan investasi pada WK transisi, reaktivasi sumur dan lapangan idle dan suspended, implementasi inovasi an teknologi, percepatan monetisasi undevelop melalui POD baru atau POP, re-evaluasi POD-POD yang pending, clustering gas resources.
Apalagi kalau ada eksplorasi yang ditemukan giant discovery, data saya menyebutkan pada tahun 2025 sampai 2041 produksi bisa naik. Saat ini lifting minyak kita diangka sekitar lebih dari 700.000 barel per hari.
KONTAN: Maksud dari clustering gas resources itu apa?
DWI SOETJIPTO: Jadi begitu, kami sudah melakukan clustering lima sampai enam wilayah untuk dibuat kluster gas. Misalnya, dalam wilayah itu tidak ada pembangkit yang bisa menyerap, kami tugasnya mencari investor industri agar mau membangun industri berbasis gas alam. Nanti pembangunan industrinya dekat dengan sumur gas agar efisien, jika sudah dalam hitungan bisnis ekonomis untuk dibor, maka akan dibor oleh KKKS.
KONTAN: Bagaimana dengan proyek yang pending, seperti IDD?
DWI SOETJIPTO: Jadi memang IDD Chevron yang habis kontrak 2027-2028 itu masih sedang di review, investornya Chevron, ENI, Cinopec. Mereka bertiga meminta insentif yang bisa diberikan pemerintah ekonomis atau tidak. Kita sendiri terus memanggil mereka dan diskusi tetapi kita juga tidak mencampuri secara langsung portofolio, Chevron punya pandangan portofolio mana yang mau duluan di garap. Kita sedang menunggu, tanggapan dari mereka, saya rasa tidak lama lagi bisa datang kembali melaporkan.
KONTAN: Bisa dipercepat seperti proyek Blok Masela?
DWI SOETJIPTO: Bedanya kasusnya, kalau Masela itu antara pemerintah dan KKKS. Kalau IDD sesama investor didalamnya. Kalau IDD, gap antar para ivestor harus diselesaikan. Kami terus menanyakan ini, soalnya ini kan blok migasnya berakhir 2027-2028, ini tidak progres tentu kami tanya mereka. Kami punya kewenangan mengevaluasi. Kita lihat nanti.
KONTAN: Selain program EOR, SKK Migas juga menekankan adanya penambahan produksi? Di Cepu minta ditambah produksinya sampai 250.000 bph memang mampu fasilitasnya?
DWI SOETJIPTO: Jadi begini,nomor satu savety. Oleh karena itu potensi untuk meningkat produksinya akan dikaji, kajiannya juga ke seluruh fasilitas produksi jangan ada kejadian yang tidak diinginkan. Yang penting itu keamanan, stabilitas, baru improvment. Prosesnya harus begitu. Harus study dulu, termasuk Amdal. Memang di akhir agustus ini akan ada presentasi soal Cepu, mampu gak segitu (250.000 bph), dampak lingkungan itu penting, kita lihat dulu Amdalnya berapa?
KONTAN: Salah satu investor tidak mau tambah produksi katanya karena gross split, mereka mau efisien saja, apa gross split dihapus saja?
DWI SOETJIPTO: Jadi begini yah, segala pola yang dipraktekan PSC itukan arahnya apa yang mau dicapai? gross split itu agar KKKS betul betul bertanggung jawab punya kepentingan kontrol efisiensi, di sana yang dituju. Sesungguhnya dengan gross plit industri bisa running lebih efieisen, kalau efisensi, investor akan datang dengan kalkulasi industri ini efisien. Tetapi kalau banyak ketidaktentuan dalam industri ini, regulasi berubah terus, dan pengurusan perizinan lambat, mau cost recovery juga sulit dan hanky pangky dan gak efisien.
KONTAN: Banyak perusahaan hulu migas kini aktif di hilir, apa nanti mereka fokus? Apa boleh masuk hilir?
DWI SOETJIPTO: Tidak apa apa, itu kan bagus untuk masyarakat, suatu hari hilir ini akan terbuka karena tuntutan publik, kalau ada kompetisi akan ada harga wajar. Ini pertamina sebenarnya sudah memiliki daya saing, karena di ritel itu infrastruktur adalah aset terpenting dan Pertamina sudah beroperasi lama dan punya infrastruktur. Pemain baru memang sudah masuk Jawa sekarang, jadi saya pikir ini tidak masalah.
Saya percaya, tidak mungkin sebuah bisnis matang dan semakin hebat kalau tidak ada lawan. Its good, itu akan membuat Pertamina sadar akan adanya persaingan. Saya berpikir bahwa mendapat hak monopoli dan boleh tunjuk langsung pasti tidak efisien. Kalau produk di proteksi jelek lah hasilnya.
Dii ritel dari dulu saya bilang, kita harus aware di hilir tidak mungkin dipertahankan. Kalau ada BBM yang masih di subsidi, bicara subsidi tidak perlu ada di produk. Kalau di produk tidak akan maju, LPG misalnya dengan disubsidi maka industri gas pipa itu tidak jalan, coal to gas tidak jalan karena bersaing produk tersubsidi langsung gugur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News