Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Pratama Guitarra
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) meminta pemerintah untuk kembali membuka keran ekspor bijih nikel kadar rendah secara terbatas. Hal itu disebabkan karena smelter lokal menolak harga bijih nikel yang mengacu pada Harga Patokan Mineral (HPM)
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan, tata niaga dan harga nikel domestik masih belum berjalan. Pasalnya, smelter lokal masih belum menerapkan ketentuan dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2020 yang di dalamnya mengatur tentang tata niaga nikel domestik yang mengacu pada Harga Patokan Mineral (HPM). Khususnya untuk harga bijih nikel kadar rendah
"Smelter lokal tidak mau menerima harga bijih nikel sesuai HPM. Maka kami para penambang bijih nikel nasional meminta pemerintah untuk membuka kembali keran ekspor bijih nikel kadar rendah secara terbatas," kata Meidy kepada Kontan.co.id, Senin (22/6).
Baca Juga: Setelah divestasi 20% saham, INCO menanti perpanjangan izin operasi sampai 2045
Meidy memberikan gambaran, mengacu HPM sebagaimana Permen ESDM No. 11 tahun 2020, harga bijih nikel untuk kadar 1,8% secara Free on Board (FOB) semestinya bisa menyentuh US$ 28,93 per wet metric ton (wmt) di bulan Juni ini. Bahkan jika transaksi menggunakan skema Cost, Insurance, and Freight (CIF) harganya bisa sampai US$ 34 per wmt.
Jika merujuk pada pasar internasional, sambungnya, harga bijih nikel kadar 1,8% bisa mencapai US$ 70 per wmt secara CIF. Namun, kontrak masih berdasarkan business to business dan smelter lokal masih menghargai bijih nikel kadar 1,8% senilai US$ 27 per wmt.
Oleh sebab itu, Meidy mengungkapkan, meski saat ini aktivitas pertambangan sudah mulai normal seiring dibukanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah pertambangan, tapi sejumlah perusahaan bijih nikel yang menambang bijih nikel kadar rendah masih menahan penjualan ke smelter lokal.
Baca Juga: Ingat, perusahaan tambang wajib reklamasi kalau tidak denda Rp 100 miliar
"Karena smelter lokal tetap tidak mau melakukan kontrak dengan harga yang ditetapkan pemerintah melalui Permen ESDM No.11 tahun 2020 tentang HPM," katanya.
Selain itu, sambung Meidy, harga nikel di pasar global berada di tren yang menanjak. Mengacu pada London Metal Exchange (LME), harga nikel sempat anjlok karena Corona, dari sekitar US$ 14.000 per ton di awal tahun, menjadi US$ 11.000 per ton pada Maret dan April.
Sejalan dengan penanganan covid-19 dan mulai bergeraknya ekonomi, harga nikel pun perlahan naik hingga di level US$ 12.000 per ton. Pada 22 Juni 2020 ini, LME untuk komoditas nikel berada di angka US$ 12.855 per ton. "Perkiraan kami bijih nikel akan merangkak naik di atas bulan Juli, di angka US$ 14.000," ujar Meidy.
Kondisi itu juga ikut mendasari APNI untuk meminta keran ekspor bijih nikel dibuka kembali. Meidy mengungkapkan, saat ini bijih nikel kadar rendah 1,6% di pasar internasional berada di kisaran US$ 45 per wmt secara FOB.
Baca Juga: Sudah terminasi, kewajiban reklamasi Koba Tin masih kurang dari 50%
Sedangkan untuk pasar lokal, bijih nikel kadar di bawah 1,7% tidak mendapatkan harga. Alhasil terjadi penumpukkan bijih nikel kadar rendah di hampir seluruh area pertambangan.
"Sedangkan di smelter lokal untuk kadar dibawah 1.7% tidak ada harganya, dianggap sampah. Saat ini terjadi penumpukkan karena untuk mendapatkan bijih nikel kadar tinggi di atas 1.8% up harus membuang 2-3 ton bijih nikel kadar rendah," jelas Meidy.
Di samping itu, katanya, usulan untuk kembali membuka keran ekspor bijih nikel kadar rendah juga dimungkinkan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 alias UU Minerba yang baru.
"Pasal 170 A diatur tentang penjualan raw material keluar negeri selama 3 tahun untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian, tetapi disebutkan sebagai mineral logam tertentu," kata Meidy.
Baca Juga: UU Minerba terbit, Kementerian ESDM melarang gubernur menerbitkan izin tambang baru
Berdasarkan hal tersebut, APNI meminta pemerintah untuk kembali membuka keran ekspor secara terbatas. Meidy menegaskan, ekspor terbatas dimaksudkan untuk memebrikan peluang bagi penambang dalam melakukan ekspor bijih nikel kadar rendah yang tidak laku di pasar domestik. "Karena smelter lokal hanya menerima bijih nikel kadar tinggi di atas 1.8%," sebutnya.
Meidy mengklaim, jika ekspor bijih nikel kadar rendah dibuka kembali untuk 3 tahun kedepan, proyeksi penerimaan devisa negara bisa mencapai Rp 100 triliun. Sebesar 21,5% sebagai pendapatan negara dan bantuan dari para pelaku ekspor bijih nikel untuk pandemic covid-19, begitu juga dengan lapangan pekerjaan bisa menyerap sampai 15.000 tenaga kerja lokal yang menyebar di 3 provinsi, yakni Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
Meidy mengatakan, saat ini pihaknya telah bersurat untuk mengusulkan kembali dibukanya ekspor bijih nikel kadar rendah secara terbatas. Bahkan, APNI sampai bersurat ke Presiden Joko Widodo.
Selain kepada Presiden, APNI juga mengirimkan surat berisi usulan tersebut kepada Kementerian ESDM, Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Watimpres, KSP, Komisi VII DPR RI, serta ke Gubernur Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News