Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Pratama Guitarra
Selain itu, sambung Meidy, harga nikel di pasar global berada di tren yang menanjak. Mengacu pada London Metal Exchange (LME), harga nikel sempat anjlok karena Corona, dari sekitar US$ 14.000 per tonĀ di awal tahun, menjadi US$ 11.000 per ton pada Maret dan April.
Sejalan dengan penanganan covid-19 dan mulai bergeraknya ekonomi, harga nikel pun perlahan naik hingga di level US$ 12.000 per ton. Pada 22 Juni 2020 ini, LME untuk komoditas nikel berada di angka US$ 12.855 per ton. "Perkiraan kami bijih nikel akan merangkak naik di atas bulan Juli, di angka US$ 14.000," ujar Meidy.
Kondisi itu juga ikut mendasari APNI untuk meminta keran ekspor bijih nikel dibuka kembali. Meidy mengungkapkan, saat ini bijih nikel kadar rendah 1,6% di pasar internasional berada di kisaran US$ 45 per wmt secara FOB.
Baca Juga: Sudah terminasi, kewajiban reklamasi Koba Tin masih kurang dari 50%
Sedangkan untuk pasar lokal, bijih nikel kadar di bawah 1,7% tidak mendapatkan harga. Alhasil terjadi penumpukkan bijih nikel kadar rendah di hampir seluruh area pertambangan.
"Sedangkan di smelter lokal untuk kadar dibawah 1.7% tidak ada harganya, dianggap sampah. Saat ini terjadi penumpukkan karena untuk mendapatkan bijih nikel kadar tinggi di atas 1.8% up harus membuang 2-3 ton bijih nikel kadar rendah," jelas Meidy.
Di samping itu, katanya, usulan untuk kembali membuka keran ekspor bijih nikel kadar rendah juga dimungkinkan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 alias UU Minerba yang baru.
"Pasal 170 A diatur tentang penjualan raw material keluar negeri selama 3 tahun untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian, tetapi disebutkan sebagai mineral logam tertentu," kata Meidy.
Baca Juga: UU Minerba terbit, Kementerian ESDM melarang gubernur menerbitkan izin tambang baru
Berdasarkan hal tersebut, APNI meminta pemerintah untuk kembali membuka keran ekspor secara terbatas. Meidy menegaskan, ekspor terbatas dimaksudkan untuk memebrikan peluang bagi penambang dalam melakukan ekspor bijih nikel kadar rendah yang tidak laku di pasar domestik. "Karena smelter lokal hanya menerima bijih nikel kadar tinggi di atas 1.8%," sebutnya.
Meidy mengklaim, jika ekspor bijih nikel kadar rendah dibuka kembali untuk 3 tahun kedepan, proyeksi penerimaan devisa negara bisa mencapai Rp 100 triliun. Sebesar 21,5% sebagai pendapatan negara dan bantuan dari para pelaku ekspor bijih nikel untuk pandemic covid-19, begitu juga dengan lapangan pekerjaan bisa menyerap sampai 15.000 tenaga kerja lokal yang menyebar di 3 provinsi, yakni Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
Meidy mengatakan, saat ini pihaknya telah bersurat untuk mengusulkan kembali dibukanya ekspor bijih nikel kadar rendah secara terbatas. Bahkan, APNI sampai bersurat ke Presiden Joko Widodo.
Selain kepada Presiden, APNI juga mengirimkan surat berisi usulan tersebut kepada Kementerian ESDM, Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Watimpres, KSP, Komisi VII DPR RI, serta ke Gubernur Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News