Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masih banyak produsen batubara yang mengkhawatirkan dampak dari tidak terpenuhinya kewajiban pemenuhan pasokan untuk kebutuhan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO). Persentase minimal penjualan batuabra DMO sendiri dipatok sebesar 25% dari rencana jumlah produksi batubara 2018 yang telah disetujui.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia mengungkapkan, yang membuat sebagian perusahaan khawatir ialah soal sanksi yang akan dijatuhkan pemerintah.
Sebab, mengacu pada peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), perusahaan PKP2B dan IUP batubara tahap Operasi Produksi yang tidak memenuhi ketentuan DMO hanya akan diberikan persetujuan tingkat produksi untuk tahun 2019 sebesar empat kali lipat dari total realiasi pemenuhan DMO tahun 2018.
Aturan itu ditegaskan oleh Menteri ESDM, Ignatius Jonan, dalam Surat bernomor 2841/30/MEM.B/2018 yang tertanggal 8 Juni 2018. Menurut Hendra, dengan berbagai alasannya, tak semua perusahaan mampu untuk memenuhi DMO 25% tersebut.
Hal itu terjadi antara lain karena soal market dalam negeri, dan spesifikasi batubara yang dihasilkan tidak cocok diserap untuk kepentingan domestik, khususnya dalam urusan ketenaga listikan.
“Termasuk juga penetapan HBA khusus untuk supply batubara ke proyek kelistrikan dipatok US$ 70 per ton. Sedangkan di sisi lain harga komoditas batubara sedang menguat, di atas US$ 100 per ton,” ujar Hendra.
Hendra menyebut, yang semakin mengkhawatirkan perusahaan ialah soal realisasi DMO 25% yang akan ditagih pada akhir triwulan II. Pasalnya, apabila realisasi itu ditagih pada triwulan II, apalagi jika sampai dikenakan sanksi, hal itu bisa mengoreksi produksi si perusahaan secara signifikan sehingga bisa menghambat usaha.
Bagi perusahaan yang belum memenuhi DMO, memang ada jalan tengahnya, yaitu dengan melakukan transfer kuota. Sehingga, perusahaan yang melebihi kuota bisa menjual sisa batubara kelebihan DMO kepada perusahaan yang belum mampu memenuhi kuota 25% tersebut.
Mekanisme dan proses transfer kuota batubara antara perusahaan dilakukan sesuai kesepakatan bisnis antara pihak yang terlibat. Namun, ketika transfer kuota ini diserahkan pada mekanisme business to business, ada kekhawatiran muncul persoalan baru terkait dengan kesepakatan harga.
Untuk mengatasi soal ini, Hendra menuturkan bahwa akan ada tim verifikator yang dibentuk pemerintah. “Untuk transfer kuota memang diserahkan pada B2B. Nantinya akan ada tim verifikator yang unsurnya dari pemerintah, PLN dan end user, juga produsen,” jelasnya.
Sayangnya, hingga saat ini, pihak Asosiasi pun tidak mengetahui data pasti perusahaan-perusahaan mana saja yang telah memenuhi, atau yang belum memenuhi DMO 25% tersebut. “Kami belum tahu ada berapa, barangkali pemerintah yang lebih tahu,” imbuh Hendra.
Saat dikonfirmasi, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono juga belum bisa merinci jumlahnya.
Bambang menjanjikan akan mengumumkannya apabila laporan sudah masuk kepadanya. “Saya nggak hafal. Laporannya belum masuk ke saya. Nanti kalau sudah masuk kami umumkan,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Selasa (24/7).
Soal sanksi yang akan dijatuhkan kepada perusahaan yang belum memenuhi kuota DMO, Bambang menyebut bahwa sebelum menjatuhkan sanksi, pihaknya akan terlebih dulu melakukan evaluasi. Hal ini dimaksudkan agar pihaknya bisa mengetahui alasan atau kendala apa yang dihadapi perusahaan sehingga tidak bisa menutupi DMO.
“Evaluasi tetap semesteran. Kita ingin tahu alasannya kenapa kok nggak bisa. Nanti kita lihat. Apalagi kalau sampai nol sama sekali, kok kenapa begitu? Kan mulai kita bina,” jelasnya.
Kendati demikian, ia menegaskan bahwa sanksi akan dijatuhkan kepada perusahaan yang tidak mematuhi aturan. “Yang jelas, sanksi-nya nanti kalau akhir tahun tidak memenuhi, RKAB tahun 2019 hanya 4 kali supply domestik,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News