Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
Lebih jauh pengajar di Fakultas Hukum UNS Solo ini menjelaskan, pada prinsipnya dalam persolan merek terdapat dua hal yang mesti dipahami. Pertama berkaiatan dengan unsur “daya pembeda” dan “persamaan pada pokoknya”. Makna daya pembeda sebenarnya menjadi goal sebuah merek.
Menurut Yudho sebuah merek dimunculkan atau diciptakan dalam rangka untuk membedakan antara satu produk dengan produk yang lainnya. Merek pada prinsipnya memiliki fungsi sebagai tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan oleh seseorang atau badan hukum.
Selain itu merek juga berfungsi sebagai alat promosi dan jaminan atas mutu barang//produk serta menunjukkan asal barang atau jasa yang dihasilkan.
"Aturan mengenai merek ini sudah jelas dan banyak kasus gugatan merek seperti halnya yang sekarang ramai dengan GoTo. Selain faktor teknis, tentunya sebuah gugatan akan dilihat iktikad dari pemohon sebagaimana pasal 21 UU merek ayat 3. Jika iktikadnya tidak baik pasti akan ditolak majelis hakim. Undang-undangnya sudah mengatur begitu," tegasnya.
Yang terpenting, Yudho menambahkan, dalam penanganan persoalan pelanggaran merek adalah apakah dalam mengajukan permohonan merek tersebut pihak pemohan ada unsur “adanya itikad buruk”.
Baca Juga: Telkomsel, Astra, dan Djarum bakal untung besar imbas kenaikan valuasi GoTo
Artinya apakah pemohon yang mengajukan permohonan atas merek memiliki tujuan meniru, menjiplak, atau mengikuti merek lain demi kepentingan usahanya dan menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat, atau mengecoh atau menyesatkan konsumen.
"Kondisi demikian biasanya banyak terjadi di mana merek-merek tertentu mencoba peruntungan untuk mendompleng merek-merek terkenal yang sudah ada. Kata GoTo sebelumnya sudah sering kita dengar lewat berbagai percakapan. Tapi identitas GoTo sebagai brand ya muncul setelah merger Gojek dan Tokopedia,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News