kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.886.000   2.000   0,11%
  • USD/IDR 16.611   25,00   0,15%
  • IDX 6.939   105,70   1,55%
  • KOMPAS100 1.004   17,27   1,75%
  • LQ45 779   13,68   1,79%
  • ISSI 220   2,19   1,00%
  • IDX30 404   6,91   1,74%
  • IDXHIDIV20 476   8,81   1,89%
  • IDX80 113   1,66   1,49%
  • IDXV30 116   1,49   1,30%
  • IDXQ30 132   2,73   2,11%

SVLK dihapus, ekspor bisa tergerus


Rabu, 18 November 2015 / 11:09 WIB
SVLK dihapus, ekspor bisa tergerus


Reporter: Adisti Dini Indreswari | Editor: Havid Vebri

JAKARTA. Langkah Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 89/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan menuai protes.

Pasalnya, beleid baru yang merupakan revisi Permendag No 66/M-DAG/PER/8/2015 dan berlaku berlaku 30 hari sejak diundangkan ini bisa menggerus performa ekspor produk kehutanan.

Dalam beleid yang diteken 19 Oktober 2015 dan akan berlaku pekan ini menghapus kewajiban sertifikasi sistem verifikasi legalitas kayu atau SVLK. Selain itu, pencabutan ini berlaku ketika hanya tinggal selangkah lagi rencana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerapkan kewajiban SVLK secara menyeluruh mulai 1 Januari 2016.

Protes datang dari pengusaha mebel dan kayu yang tergabung dalam Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo).

Rudy T. Luwia, Wakil Ketua Umum Asmindo mengatakan, sejak Permendag moratorium SVLK terbit, minat pengusaha untuk mengajukan sertifikat V-Legal jelas langsung menurun drastis.

Sebab, V-Legal merupakan dokumen bukti kepemilikan SVLK yang merupakan syarat wajib sebelum mengekspor produk kehutanan. Biaya untuk mendapatkan SVLK berkisar Rp 20 juta-Rp 30 juta per dokumen.

Padahal, kata Rudy, sebanyak 80% perusahaan yang bernaung di bawah Asmindo sudah mengantongi sertifikat SVLK. Sementara 20% sisanya merupakan usaha kecil menengah (UKM) yang kesulitan soal biaya. "Memang belum ada produk yang ditolak di pasar ekspor. Tapi, Indonesia mendapat citra negatif karena tidak punya sertifikat SVLK," terang Rudy, Selasa (17/11).

AMKRI mendukung

Rudy menegaskan, selama ini, mayoritas otoritas di Eropa memberlakukan produk kayu impor yang masuk ke negaranya harus memiliki sertifikat SVLK.

Sementara, otoritas di Amerika Serikat (AS), Australia, dan China segera menerapkan kebijakan serupa. Ini tentu harus menjadi perhatian pemerintah.

Asmindo mencatat, pada 2014, Eropa menyerap 40,02% ekspor mebel Indonesia, AS 28,96%, dan Jepang 11,81%. Sisanya menyebar ke berbagai negara lain.

Melihat fakta tersebut, Rudy memproyeksikan ekspor mebel Indonesia pada tahun depan akan stagnan. Cuma, ia enggan membeberkan target ekspor mebel tahun ini dan tahun depan. Tapi, realisasi ekspor mebel pada 2014 mencapai US$ 1,76 miliar atau turun dari tahun 2013 sebesar US$ 1,78 miliar.

Namun, Sekretaris Jenderal Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) Abdul Sobur, justru menilai positif kebijakan menghapus kewajiban SVLK. "Ini sudah sesuai dengan permintaan kami. Sertifikasi cukup di hulu, tak perlu di hilir," ujarnya. Soalnya, banyak UKM tak sanggup memenuhi sertifikasi SVLK dari segi biaya dan administrasi. Saat ini, baru 36% anggota AMKRI yang mengantongi sertifikat SVLK.

Abdul tidak khawatir mebel Indonesia tidak laku di pasar ekspor lantaran tak memiliki SVLK. "Tidak semua pembeli mensyaratkan SVLK. Jadi, justru aneh kalau pemerintah mewajibkannya," ujarnya.

Abdul memperkirakan, ekspor mebel dan kerajinan Indonesia pada 2016 tumbuh 10% didorong pulihnya perekonomian negara tujuan ekspor. Tahun ini, ekspor mebel dan kerajinan masih bisa naik 6% dari realisasi ekspor 2014.

Staf Ahli KLHK Agus Justianto mengaku tidak bisa berbuat banyak karena wewenang mengatur ekspor ada di Kementerian Perdagangan (Kemdag). "Sebelum peraturan terbit, kami sudah kirim surat ke Kemdag," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×