kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.504.000   5.000   0,33%
  • USD/IDR 15.935   0,00   0,00%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Swasembada belum efektif, impor kedelai Indonesia malah naik 33,96%


Kamis, 02 Desember 2010 / 10:05 WIB
Swasembada belum efektif, impor kedelai Indonesia malah naik 33,96%
ILUSTRASI. Proyek konstruksi properti


Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Walaupun Indonesia negara agraris, konsumsi kedelai di negara ini masih terus bergantung pada impor. Bahkan, volume impor kedelai sepanjang Januari-Agustus 2010 naik sebesar 33,96% dari periode yang sama tahun 2009, yaitu dari 928.200 ton menjadi 1.243.400 ton.

Kenaikan volume impor tersebut juga terjadi saat harga kedelai dunia bertengger di harga tinggi. Alhasil, pelaku usaha makanan yang berbasis kedelai, seperti pembuat tahu dan tempe, mengeluh.

Kalangan industri sendiri sempat mendapat angin segar ketika Selasa (30/11), harga kedelai di bursa Chicago sempat turun di level US$ 12,42 per gantang (Rp 4.050 per kg). Sayangnya, penurunan itu tidak bertahan lama. Kemarin (1/12), harga kedelai di bursa tersebut kembali naik menjadi US$ 12,52 per gantang
(Rp 4.140 per kg).

Benny Kusbini, Ketua Dewan Kedelai Indonesia melihat penurunan harga tersebut cuma gejolak sesaat yang terjadi karena permainan para trader. Namun, ia juga membenarkan bahwa harga kedelai dunia sempat turun karena faktor cuaca yang membaik di dua negara produsen kedelai, Argentina dan Brazil, sehingga kemungkinan produksi kedelai mereka meningkat.

Kemudian, tren penurunan berlanjut seiring dengan adanya kekhawatiran penurunan permintaan sebagai dampak upaya pemerintah China untuk memberantas spekulan. “Tren harga melandai karena China terus melanjutkan aksi menekan spekulan yang dituding menyebabkan naiknya harga komoditas, dan menyebabkan meningkatnya inflasi," kata analis Phillip Futures Pte di Singapura, Ker Chung Yang, seperti dikutip Bloomberg kemarin.

Menurut Benny, China adalah konsumen terbesar kedelai dan sangat berkepentingan dengan pasokan kedelai. “Dia bisa melakukan apa pun, termasuk menurunkan harga kemudian menaikan harga lagi,” kata dia.

Namun, apa boleh buat, pengaruh China tidak bertahan lama. Memasuki awal Desember, harga kedelai naik lagi. Kenaikan harga kedelai ini tentu sangat membebani pelaku industri yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku. Ketua Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Sudirman bilang, kenaikan harga memicu kenaikan ongkos produksi. “Industri makanan paling terkena dampak,” terang Sudirman.

Tidak hanya makanan manusia, makanan ternak juga ikut terpengaruh. Harga kedelai mendongkrak harga bungkil kedelai yang menjadi sumber makanan ternak. “Sudah tiga bulan harga bungkil kedelai belum turun juga,” jelas Sudirman.

Swasembada tak efektif

Pemerintah tentu berupaya mengurangi ketergantungan kedelai dari impor. Bahkan Kementerian Pertanian mencanangkan swasembada kedelai tahun 2014.

Namun melihat tren impor yang naik tersebut, tampaknya upaya tersebut kurang berhasil. Benny melihat, upaya swasembada tersebut kurang terencana dengan baik. Buktinya, kata Benny, produksi kedelai tahun ini diperkirakan hanya mencapai 700.000 ton. Padahal kebutuhan konsumsi kedelai nasional 2,4 juta ton. "Untuk swasembada setidaknya harus ada areal lahan 2,4 juta hektare," tegas Benny.

Dia menyayangkan minimnya areal tanam kedelai yang hanya seluas 750.000 hektare. Untuk itu, Benny meminta pemerintah menaikkan tarif bea masuk (BM) impor kedelai yang sekarang baru 5%. “Jika BM masih rendah, pedagang akan suka berdagang dengan cara impor daripada membeli kedelai di dalam negeri,” tegas Benny

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×