Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Untuk mengantisipasi krisis listrik yang diperkirakan terjadi pada 2018 mendatang, pemerintah meminta swasta/industri untuk membangun pembangkit listrik sendiri. Wacana ini diapresiasi oleh pelaku usaha seperti salah satunya yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo).
Meskipun demikian, Direktur Eksekutif Apemindo, Ladjiman Damanik mengaku ada hal yang masih mengganjal dalam memenuhi kebutuhan listrik secara mandiri, yaitu soal jaringan (transmisi).
“Wacana itu bagus, tapi kalau bangun pembangkit listrik, ya bangun pembangkit listrik saja lah. Masa bangun transmisi juga. Kami kan bukan perusahaan transmisi,” ujarnya ditemui usai diskusi, di Jakarta, Rabu (30/4).
Keberatan Ladjiman itu bukan tanpa alasan. Dia bilang, pembangkit listrik yang dibangun tidak semua berdekatan dengan gardu induk listrik milik PT PLN, dan juga tidak semua dekat dengan lokasi pabrik/industri.
Umumnya, pembangkit listrik dibangun di dekat dengan sumber energi primer termurah. Ladjiman menambahkan, untuk biaya listrik perusahaan tambang misalnya, membutuhkan sekitar US$ 2 juta per megawatt.
Dengan membangun pembangkit listrik sendiri, perusahaan lebih hemat ongkos produksi. Namun, diakuinya, pembangunan jaringan transmisinya membutuhkan dana yang tidak sedikit. “Kami numpang aja ke jaringan PLN, karena bangun transmisi mahal lho,” kata dia.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jarman menuturkan, pemerintah tengah menyiapkan peraturan mengenai power wheeling. Skema power wheeling terdiri dari beberapa opsi.
Pertama, terang Jarman, Pemegang Izin Operasi Ketenagalistrikan sebagai pemilik captive power bisa menyewa transmisi PLN untuk menyalurkan tenaga listrik yang dibangun ke perusahaan sendiri di lokasi yang berbeda.
“Pabrik atau industri yang memiliki izin operasi dapat membangun pembangkit tenaga listrik di tempat yang berbeda dari lokasi industrinya,” ujarnya, Rabu.
Jarman mencontohkan, perusahaan tambang yang memiliki smelter di tengah pulau serta punya sumber daya air di tempat lain, dapat membangun PLTA untuk melistriki smelternya. Perusahaan tersebut tinggal menyewa jaringan transmisi milik PLN. “Yang dibayar ke PLN adalah sewa transmisi dan keandalan,” kata dia lagi.
Kedua, sambung Jarman, skema power wheeling bisa berupa Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (Pemegang wilayah usaha), menyewa transmisi PLN untuk menyalurkan tenaga listrik yang dibangun di luar wilayah usahanya, atau membeli dari perusahaan lain di luar wilayah usahanya (swasta/excess) melalui sewa jaringan PLN.
Jarman berharap, dengan skema power wheeling, kebutuhan listrik yang tidak teralokasikan oleh PLN dan IPP (Independent Power Producers) dapat terpenuhi.
Catatan Kementerian ESDM, total kapasitas terpasang pembangkit listrik sampai dengan Maret 2014 adalah sebesar 49.630 megawatt (MW) terdiri dari PLN sebesar 72%, IPP sebesar 21%, PPU sebesar 4%, dan IO non BBM sebesar 3%.
Sementara itu, pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik tahun 2013-2022, diproyeksikan rata-rata sekitar 8,4% per tahun. Dengan demikian, pada 2018 diperthitungkan kapasitas pembangkit nasional harus mencapai 77.748MW, terdiri dari PLN sebesar 46.179MW, IPP sebesar 22.317MW, serta gabungan PPU dan IO non BBM sebesar 9.251MW. (Estu Suryowati)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News