kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tak mau harga gas naik, Kadin dan pelaku industri ancam akan bayar pakai harga lama


Kamis, 26 September 2019 / 07:05 WIB
Tak mau harga gas naik, Kadin dan pelaku industri ancam akan bayar pakai harga lama


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku industri melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menolak kenaikan harga gas oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) mulai 1 Oktober 2019. Bahkan, pelaku industri sepakat untuk menggunakan harga lama jika PGN tetap ngotot menaikkan harga gas.

"Kita minta kalau nanti terjadi kenaikan harga, kita tidak akan bayar kenaikannya. Harga lama tetap kita pegang," kata Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia Kadin Achmad Widjaja selepas Focus Group Discussion (FGD) terkait penerapan harga gas bumi untuk industri yang digelar di Kantor Kadin, Rabu (25/9).

Menurut Achmad, hal tersebut tidak melanggar kontrak antara PGN dan pelaku usaha. Sebab, ia menyebut rerata kontrak pembelian gas berlangsung lima tahun dan bisa direvisi setiap dua tahun sekali.

"Jadi tidak (melanggar), kalau jadi dinaikkan, berarti juga kan harus revisi kontrak," imbuhnya.

Baca Juga: Tolak Kenaikan, Kadin dan pelaku industri mendesak harga gas menjadi US$ 6 per MMBTU

Achmad bilang, rencana kenaikan harga berkisar 12%-15%. Dengan rata-rata harga gas untuk industri yang saat ini berada di angka US$ 9 per MMBTU, maka kenaikan tersebut akan sangat memberatkan bagi pelaku industri.

Ia menerangkan, gas berkontribusi signifikan terhadap biaya produksi di sektor industri. Untuk industri yang menggunakan gas sebagai energi, rerata kontribusi gas mencapai 30%-40%. Untuk industri yang menjadikan gas sebagai energi pendukung, porsi gas terhadap biaya produksi sekitar 8%-12%.

Sedangkan untuk gas dipakai untuk menjadi bagian dari bahan baku, itu sekitar 60%-70%. "Jadi itu signifikan sekali, kalau memang (harga gas) bergerak US$ 0,1 saja, itu sudah berdampak," terangnya.

Adapun, untuk harga ideal yang diharapkan pelaku usaha, Achmad menyatakan bahwa harga yang sudah dirujuk dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, yaitu sebesar US$ 6 per MMBTU.

Oleh sebab itu, selain bersepakat untuk menolak kenaikan harga gas, Kadin dan pelaku industri juga mendesak agar harga di dalam Perpres tersebut bisa diimplementasikan. "Harga (US$ 6 per MMBTU) itu sudah ideal menurut kita). Perpres itu sudah sejak 2016 harusnya sudah diterapkan," terangnya.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Johnny Darmawan mengatakan setelah tiga tahun Perpres tersebut terbit, harga jual gas industri masih tetap tinggi lantaran beleid itu belum diimpelemtasikan. Perpres Nomor 40/2016 itu mengatur agar harga gas bagi tujuh sektor industri ditetapkan menjadi US$ 6 per MMBTU.

Ketujuh sektor industri tersebut adalah industri pupuk, petrokimia, oleochemical, industri baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. "Tapi sampai saat ini beleid tersebut hanya diimplementasikan pada perusahaan BUMN sektor industri pupuk, baja dan pupuk majemuk," jelasnya.

Johnny bilang, persaingan dan daya saing industri semakin ketat, sementara sektor industri telah terbebani dengan biaya investasi yang besar. "Ini ditambah lagi dengan harga gas. Padahal, apabila pasokan gas dalam negeri berdaya saing maka sektor industri manufaktur diharapkan akan tumbuh 6%-7%," terang Johnny.

Senada dengan itu, Sekretaris Jenderal Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, pihaknya mendukung agar harga gas bisa diturunkan. Menurutnya, penurunan harga gas akan meningkatkan daya saing industri dan menambah pendapatan negara.

"Semakin kita turunkan harga gas, semakin besar keuntungan negara. Bukan rugi, tapi untung," sebutnya.

Sigit memberikan gambaran, setiap harga gas diturunkan US$ 1 per MMBTU, maka secara agregat pendapatan negara bisa bertambah hingga Rp 21 triliun. "Kalau kita misalkan harga gas turun dari US$ 7 ke US$ 6 per MMBTU, secara agregat nasional kita untung Rp 21 triliun. Begitu juga sebaliknya," jelas Sigit.

Hanya saja, Sigit mengatakan bahwa implementasi beleid soal harga gas itu tidak menjadi kewenangan dari Kemenperin. "Itu silahkan tanya ke (Kementerian) ESDM," sebutnya.

Sayangnya, FGD tersebut tidak dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian ESDM dan PGN. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto tak memenuhi undangan dan tidak ada perwakilan yang datang.

Baca Juga: Apindo berharap pembangunan pipa gas distribusi di Jawa Tengah menjadi prioritas

Hingga tulisan ini dibuat, Kontan.co.id telah berupaya untuk meminta tanggapan dari pihak PGN. Hanya saja, PGN masih belum memberikan tanggapan.

Asal tahu saja, FGD tersebut menghasilkan lima poin kesepakatan. Yakni: Pertama, implementasi Perpres Nomor 40/2016 tetap harus dijalankan. Kedua, pelaku industri menuntut harga fixed untuk industri di plant gate sebesar US$ 6 per MMBTU.

Ketiga, karena kondisi supply di Jawa Barat mengalami penurunan setiap tahunnya, maka pipa South Sumatra-West Java (SSWJ) harus menjadi pipa open access untuk membawa gas dari Sumatra Selatan ke Jawa Barat, serta perlu dilakukan review oleh BPH Migas.

Keempat, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) harus mencari investor untuk investasi terhadap receiving terminal dan vessel untuk pengangkutan LNG dari lokasi supply sampai ke titik serah. Kelima, apabila ada kenaikan harga gas dari PGN yang dipaksakan kepada pelaku industri, maka seluruh pelaku industri sepakat untuk tidak akan membayar selisih dari harga lama terhadap kenaikannya.

Achmad Widjaja menegaskan, pihaknya akan membawa persoalan mengenai harga gas ini ke Presiden Joko Widodo untuk dilakukan pembahasan. "Kita akan bawa ini sampai ke Presiden. Tanggal 10 Oktober rencananya kita minta jadwal Presiden," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×