kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tambang bawah tanah dan smelter jadi fokus Freeport Indonesia


Minggu, 23 Desember 2018 / 21:35 WIB
Tambang bawah tanah dan smelter jadi fokus Freeport Indonesia
ILUSTRASI. PENYERAHAN IUPK FREEPORT


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebesar 51,23% saham PT Freeport Indonesia (PTFI) telah resmi digenggam oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). PTFI pun punya kepastian produksi dan investasi selama 2x10 tahun sejak habis kontrak pada 2021, yang tertuang dalam Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) definitif PTFI yang telah diterbitkan oleh Kementerian ESDM pada Jumat (23/12).

Dengan terbitnya izin tersebut, salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh PTFI adalah membangun pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) yang akan selesai selama lima tahun ke depan sejak IUPK definitif diberikan. CEO Freeport-Mc Moran Inc Richard Adkerson maupun Direktur Utama PTFI Tony Wenas sama-sama menjanjikan bahwa pihaknya berkomitmen untuk menunaikan kewajiban tersebut.

“Pemerintah bersikeras smelter harus dibangun. Kami berkomitmen membangun smelter tersebut dan di bawah ketentuan IUPK kami berkomitmen menyelesaikannya dalam lima tahun,” ujar Adkerson.

Bahkan, bos Freeport ini bilang bahwa pihaknya siap menggelontorkan dana sebesar US$ 20 miliar untuk operasional hingga tahun 2041. Lebih lanjut, Vice President Corporate Commnucations PTFI Riza Pratama mengatakan bahwa dana sebesar itu tidak termasuk untuk membangun smelter, melainkan lebih ditujukan untuk mengembangkan tambang bawah tanah yang akan menjadi fokus PTFI.

Soal smelter, Riza masih enggan buka suara, baik itu mengenai lokasi pasti, partner pembangun dan pengelolaan, serta rincian investasi dan target produksinya. Begitu pun saat diminta konfirmasi mengenai kelanjutan kerja sama dengan PT Amman Mineral yang sebelumnya dikabarkan akan membangun smelter berkapasitas 2,6 juta ton.

“Tempatnya masih belum ditentukan pastinya. Belum konfirmasi untuk lokasi, belum ada konfirmasi juga (partner). Kami tetap akan membangun smelter,” kata Riza.

Yang pasti, proyek pembangunan PTFI yang ada saat ini terletak di Gresik, Jawa Timur. Hingga September 2018, smelter pengolahan konsentrat tembaga dan lumpur anoda itu baru mencapai progres pembangunan kumulatif sebesar 2,50%.

Selain smelter, tambang bawah tanah menjadi fokus PTFI pascadivestasi. Sebab, Tony Wenas menjelaskan, mulai tahun depan, tambang terbuka (open pit) PTFI sudah habis, dan untuk mengembangkan pertambangan bawah tanah ini, pihaknya siap menggelontorkan dana sebesar US$ 14 miliar hingga tahun 2041.

(Open pit) sudah habis bulan depan. Mulai ke depan kami fokus ke underground yang akan mulai tahun depan. Tambahan US$ 14 miliar Itu sampai 2041,” ungkap Tony.

Itu pula yang ditegaskan oleh pihak Inalum selaku pemilik mayoritas saham PTFI saat ini. Head of Corporate Communications Inalum Rendi A. Witoelar berujar, fokus Inalum pasca merampungkan proses divestasi ini ialah memastikan proses peralihan dari tambang terbuka ke tambah bawah tanah dalam selama tiga tahun kedepan bisa berjalan dengan lancar.

“Tambang Grasberg yang dikelola PTFI adalah yang terumit di dunia. Di masa transisi ini, penting bagi Inalum untuk menjaga tidak ada disrupsi pada operasi. Semuanya sudah disiapkan PTFI, kami tinggal eksekusi saja dan memastikan tidak ada gangguan,” ujar Rendi.

Karenanya dalam masa-masa transisi yang krusial itu, lanjut Rendi, Inalum memerlukan keahlian Freeport untuk tetap menjadi operator tambang. “Ibaratnya, supir sedang membawa truk melewati tikungan dan tanjakan tajam, tidak bisa serta-merta kami yang tidak pengalaman menyetir truk tersebut dan mengambil alih kemudi walau truk itu baru saja menjadi milik kami. Bisa jatuh ke jurang nantinya,” kata Rendi memberikan perumpamaan.

Selain itu, yang harus tetap diperhatikan pascadivestasi ini ialah soal kewajiban lingkungan yang harus dibayarkan oleh PTFI sebesar Rp 460 miliar dari pemakaian kawasan hutan lindung seluas 4.535,93 hektare (ha) yang sebelumnya dilakukan tanpa izin.

Tony bilang, denda itu akan dibayarkan segera setelah pihaknya menerima Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Sebab, hingga penyerahan IUPK dan penyelesaian proses divestasi pada Jumat (21/12), Tony mengaku masih belum mengantongi izin tersebut.

Padahal sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya mengatakan bahwa IPPKH hanya tinggal menunggu finalisasi dari Pemerintah Derah Papua. “Itu kan soal izin, yang memang ada biayanya kan. Segera setelah IPPKH-nya keluar,” katanya.

Yang jelas, sembari mengawal kewajiban yang harus ditunaikan oleh PTFI, produksi dan kinerja bisnis dari perusahaan tambang yang beroperasi di Papua memang harus dijaga. Sebab, hingga kuartal III 2018 ini, kinerja PTFI masih berkilau.

Merujuk pada laporan triwulan Freeport-McMoran sebagai induk perusahaan yang saat itu masih memegang 90,64% saham di PTFI, disebutkan bahwa dalam tiga bulan terakhir, PTFI memproduksi 332 juta pounds tembaga atau tumbuh 13% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu yang ada di angka 293 juta pounds.

Secara total, selama sembilan bulan di tahun ini, produksi tembaga PTFI ada di angka 990 juta pounds, atau meningkat 53% dari periode yang sama tahun lalu yang hanya sebesar 647 juta pounds. Hingga kuartal III-2018, penjualan tembaganya ada di angka 1 miliar pounds, naik 59% dari 630 juta pounds per 30 September 2017.

Dalam sembilan bulan pertama hingga 30 September, produksi emas PTFI adalah 2,01 juta ounces, melonjak 110,58% daripada produksi emas PTFI di periode yang sama tahun lalu yang sebesar 992.000 ounces. Sedangkan penjualan  emas PTFI ada di angka 2,10 juta ounces, naik 120% dari penjualan pada periode yang sama tahun lalu yang sebesar 956.000 ounces.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×