kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Tanpa dukungan pemerintah, industri lokal sulit bersaing


Senin, 28 Maret 2011 / 07:00 WIB
ILUSTRASI. Petugas memantau grafik pergerakan penjualan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Dealing Room Divisi Tresuri BNI, Jakarta, Jumat (27/9/2019). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 33,45 poin atau 0,54% ke 6.196,89. ANTARA FOTO/Muhammad Adim


Reporter: Sofyan Nur Hidayat | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Para pebisnis kian keras mengeluhkan penerapan pasar bebas ASEAN-China atau Asean-China Trade Agreement (ACFTA). Sejak ACFTA berlaku mulai awal tahun 2010, aktivitas produksi di dalam negeri merosot dan harga jual produk mereka juga tidak kompetitif dibandingkan produk China.

Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Erwin Aksa mengatakan, industri di China bisa berkembang pesat karena mendapat dukungan yang maksimal dari pemerintahnya. Menurutnya, industri di China didorong membuat produk secara massal dan dipasarkan bukan hanya untuk kebutuhan di dalam negeri, tapi juga kebutuhan dunia.

"Hal itu didukung dengan infrastruktur dan ketersediaan bahan baku yang melimpah yang dibutuhkan industri," kata Erwin, Jumat (25/3).

Selain itu, menurut Erwin, pemerintah China juga memberikan insentif berupa keringanan pajak dan keringanan suku bunga pinjaman. Hal itu berbeda dengan di Indonesia yang suku bunga pinjamannya sangat tinggi. Erwin sendiri menilai, semestinya bunga pinjaman di Indonesia berada pada posisi single digit atau sekitar 9% per tahun.

Akibat kurangnya dukungan pemerintah, industri di dalam negeri sulit bersaing dengan China yang memiliki kapasitas produksi sangat besar. Jika ingin bisa bersaing, minimal pemerintah juga harus menempuh langkah yang sama seperti Pemerintah China.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto menanandaskan, tingginya suku bunga kredit bank di Indonesia telah menyebabkan industri dalam negeri sulit berkembang. Selain itu, biaya logistik yang harus ditanggung industri juga besar karena infrastruktur transportasi kurang memadai. "Industri juga masih mengeluhkan sulitnya urusan birokrasi," kata Suryo.

Sulitnya bersaing dengan produk China misalnya, dirasakan oleh industri perlampuan.

Ketua Umum Asosiasi Perlampuan Listrik Indonesia (Aperlindo) John Manopo mengatakan, sejak ACFTA berlaku, produk lampu asal China bebas melenggang masuk ke Indonesia. Di sisi lain, industri perlampuan dalam negeri justru dihambat dengan adanya tarif bea masuk komponen lampu sebesar 5%. "Dengan tingginya biaya yang ditanggung, kami sulit bersaing dengan produk China yang harganya murah," kata John.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×