kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Tantangannya Berat, Ini yang Harus Dilakukan Mendorong Penerapan EBT


Sabtu, 08 Juni 2024 / 12:05 WIB
 Tantangannya Berat, Ini yang Harus Dilakukan Mendorong Penerapan EBT
ILUSTRASI. Petugas melakukan perawatan panel surya?pada atap pabrik di Bekasi, Jawa Barat, Senin (29/4/2024). Total potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia mencapai 3.686 gigawatt (GW). Potensi tertingginya dari energi surya sebesar 3.294 GW. Saat ini kapasitas terpasang EBT berupa energi surya, angin, air, bioenergi, panas bumi, dan laut baru sekitar 0,3%. (KONTAN/Cheppy A. Muchlis)


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan energi terbarukan (EBT) seperti matahari, angin, air, dan panas bumi sebagai solusi untuk menjawab tantangan menyediakan energi yang bersih, terjangkau, dan berkelanjutan bukan hal mudah.

Komaidi Notonegoro, Pengamat Energi dari Reforminer Institute mengatakan, minimnya ketersediaan infrastruktur, teknologi dan kebutuhan dana investasi yang relatif lebih besar ketimbang energi fosil, kerap menjadi batu sandungan dalam mengakselerasi pengembangan EBT terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

“Oleh karena itu, perlu komitmen yang kuat dari pemerintah dan para stakeholders terkait sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM)," kata Komaidi dalam forum Energi Institute for Transition (EITS), baru-baru ini. 

Vice President Sustainability Program, Rating & Engagement PT Pertamina , Indira Pratyaksa mengakui hal tersebut. Ia bilang,  Pertamina memiliki komitmen yang kuat terhadap energy keberlanjutan tapi tak mudah mewujudkannya. 

Baca Juga: AESI Soroti Strategi Capai Bauran Energi Terbarukan

Pertamina telah menetapkan dua pilar strategis untuk mendukung Net Zero 2060. Pertaman, dekarbonisasi. Hal ini dilakukan dengan efisiensi energy, pengurangan kerugian pembangkit listrik ramah lingkungan, peralatan statis elektrifikasi, bahan bakar nol karbon atau rendah untuk armada termasuk melalui elektrifikasi, portofolio aktif peningkatan, dan pengembangan energy lain.

Kedua, Bisnis Rendah Karbon & Pengimbangan Karbon. Dianttanya dengan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS), Solusi Berbasis Alam-Ekosistem, Solusi Berbasis Ekosistem (NEBS), Bisnin Pasar karbon, Panas bumi, Matahari, Angin, - Bahan Bakar Nabati, Hidrogen Biru & Hijau, Baterai & Ekosistem Kendaraan Listrik.

“Untuk memastikan sustainability, bisa dieksekusi tentu tidak mungkin tanpa pemahaman yang baik, jadi kami berkolaborasi dengan berbagai macam entitas, baik di internal maupun eksternal Pertamina untuk membangun knowledge atas sustainability itu sendiri,” tutur Indira. 

Terbaru, Pertamina telah memulai pembangunan Pertamina Sustainability Center sebagai upaya untuk mendukung target transisi energi Indonesia yang mendorong inovasi dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

CEO Pertamina NRE, Jhon Eusebius Iwan Anis mengatakan, saat ini masyarakat dua tengah berada di masa transisi energy dimana harus tetap menggunakan energy yang ada yang jumlahnya terus meningkat tetapi harus dengan di dekarbonisasi. 

Baca Juga: PLN Siapkan Jaringan Listrik Terintegrasi Teknologi Digital di IKN

Namun, ia melihat transisi energy dalam prakteknya sulit karena biayanya mahal. Sehingga saat ini yang harus dilakukan adalah bagaiman membuat energy terbarukan ini lebih ekonomis. 

Sementara Komaidi melihat analisa transisi energi selama ini sering kali hanya berhenti pada aspek lingkungan saja. “Tapi, setelah itu kita masuk ke aspek UUD alias ujung-ujungnya duit, bisa beli atau tidak, itu sering kali berhenti,” tegasnya.

Bicara EBT, menurutnya, ketika sudah bersentuhan dengan daya beli, inflasi, akan terhenti. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara-negara maju. 

Menurut Komaidi, sumber energy terbarukan panas bumi memiliki keunggulandengan sumber yang tidak terbatas dan tidak tergantung dengan cuaca sehingga sangat dapat diandalkan untuk jangka panjang. “Kita bicara EBT apapun, energy air akan terganggu di musim kemarau, energy surya akan tergangu saat musim hujan, sedang angin juga debitnya tidak sama, artinya tergantung cuaca,” jelasnya.

Selain itu, energi panas bumi atau geothermal merupakan satu satunya EBT yang membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Namun, ia meligst tantangannya EBT panas bumi dihadapkan pada biaya yang besar, degan waktu yang lama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×