kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Tata niaga gula kacau, pengusaha sarankan diversifikasi turunan gula


Minggu, 26 Agustus 2018 / 18:06 WIB
Tata niaga gula kacau, pengusaha sarankan diversifikasi turunan gula
ILUSTRASI. Pabrik Gula Ngadirejo


Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tata niaga gula nasional dinilai perlu segera diperbaiki. Tidak hanya dari sisi peningkatan produktivitas, namun juga dari diversifikasi turunan gula. 

Pasalnya, saat Indonesia masih fokus pada peningkatan produksi, negara lain sudah mengembangkan turunan gula hingga tahap bioetanol. Akibatnya Indonesia semakin tertinggal jauh.

Avanti Fontana Periset Strategi dan Manajemen Inovasi dari Universitas Indonesia (UI), sekaligus Staf Khusus Kepresidenan menyatakan ada masalah di sisi on farm dan off farm pergulaan Indonesia. 

"Tata niaga tidak efisien, akibatnya produktivitas rendah dan tidak kompetitif, apalagi bila dibandingkan dengan luar negeri yang sudah punya berbagai produk turunan," kata Avanti kepada Kontan.co.id, Kamis (23/8) lalu.

Dalam catatan yang dipaparkan Avanti, pada 2015 produktivitas tebu mencapai 67,25 ton per hektar. Kemudian dari Kementerian Pertanian Amerika Serikat (USDA), produktivitas tebu di tahun 2016 sebesar 68,3 ton per ha. 

Padahal, pada 2010 produktivitas tebu nasional pernah mencapai 78,2 ton per ha. Artinya terjadi penurunan produktivitas petani tebu yang bila dihadapi dengan impor, tidak menjadi solusi kerakyatan.

Tak hanya produktivitas yang jadi masalah, namun impor gula industri dan konsumsi juga menyebabkan kacau pada tata niaga. Menurut Avanti, dengan adanya segmentasi berupa gula rafinasi industri, gula rafinasi konsumsi dan gula rakyat menyebabkan 'moral hazard' antara industri, konsumen dan petani.

Di sisi lain, Direktur Utama RNI, Didik Prasetyo menyatakan Indonesia terlambat dalam mengembangkan industri gula. Ia berkaca pada negara India yang mendorong pabrik gula nya untuk menghasilkan produk turunan lain seperti biofuel dan energi untuk listrik.

"Pabrik gula, pengusaha dan pemerintah seharusnya melihat industri ini sebagai sugar cane industri, bukan hanya sekadar Pabrik Gula saja karena ada banyak potensi seperti bioetanol, pulp and paper, coal generator dan lainnya," kata dia.

Didiek melanjutkan sebenarnya pemerintah telah mengupayakan arah tersebut melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 yang membuka kesempatan untuk pengembangan gula menjadi bioetanol sebagai bahan dasar bahan bakar.

Dalam permen tersebut menyebutkan pemakaian etanol untuk transportasi non-PSO dan industri sebesar 2% mestinya sudah dilakukan pada April 2015. "Namun baik dari penggunaannya dan produksi bioetanol sendiri masih terhambat, padahal ada PTPN IX yang punya pabrik bioetanol namun tidak lancar," kata dia.

Didik melanjutkan, yang membuat korporasi asing dan industri gula di negara asing bisa bertahan adalah karena mereka bisa mengidentifikasi potensi gula kemudian dikembangkan nilai tambahnya. 

Sehingga integrasi bisa dilakukan di tingkat pabrik dan hasil akhir tidak hanya berupa gula konsumsi, namun bahan bakar seperti bioetanol atau plastik seperti yang terjadi di Thailand.

Namun Didik mengakui biaya investasi dan komitmen pemerintah untuk menjalankan rencana seperti itu berat. Apalagi bila pemerintah masih berkutat pada isu mendasar seperti produktivitas ketimbang potensi turunan gula.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×