Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Handoyo .
Di sisi lain, Direktur Utama RNI, Didik Prasetyo menyatakan Indonesia terlambat dalam mengembangkan industri gula. Ia berkaca pada negara India yang mendorong pabrik gula nya untuk menghasilkan produk turunan lain seperti biofuel dan energi untuk listrik.
"Pabrik gula, pengusaha dan pemerintah seharusnya melihat industri ini sebagai sugar cane industri, bukan hanya sekadar Pabrik Gula saja karena ada banyak potensi seperti bioetanol, pulp and paper, coal generator dan lainnya," kata dia.
Didiek melanjutkan sebenarnya pemerintah telah mengupayakan arah tersebut melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 yang membuka kesempatan untuk pengembangan gula menjadi bioetanol sebagai bahan dasar bahan bakar.
Dalam permen tersebut menyebutkan pemakaian etanol untuk transportasi non-PSO dan industri sebesar 2% mestinya sudah dilakukan pada April 2015. "Namun baik dari penggunaannya dan produksi bioetanol sendiri masih terhambat, padahal ada PTPN IX yang punya pabrik bioetanol namun tidak lancar," kata dia.
Didik melanjutkan, yang membuat korporasi asing dan industri gula di negara asing bisa bertahan adalah karena mereka bisa mengidentifikasi potensi gula kemudian dikembangkan nilai tambahnya.
Sehingga integrasi bisa dilakukan di tingkat pabrik dan hasil akhir tidak hanya berupa gula konsumsi, namun bahan bakar seperti bioetanol atau plastik seperti yang terjadi di Thailand.
Namun Didik mengakui biaya investasi dan komitmen pemerintah untuk menjalankan rencana seperti itu berat. Apalagi bila pemerintah masih berkutat pada isu mendasar seperti produktivitas ketimbang potensi turunan gula.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News