Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (Tekmira) Badan Litbang Kementerian ESDM menginisiasi penelitian anoda baterai dari bahan batubara dengan mengkonversi batubara menjadi bahan baku pitch bernilai tinggi.
Penelitian yang dilaksanakan Kelompok Penelitian dan Pengembangan (KP3) Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara ini bertujuan mendukung program hilirisasi batu bara menjadi bahan baku grafit sintetik yang bernilai tinggi. Kegiatan ini difokuskan pada pembuatan prekursor karbon dari residu distilasi ter batubara sebagai material penyimpanan energi.
Koordinator KP3 Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batu Bara Slamet Handoko menjelaskan, grafit merupakan bahan baku utama anoda baterai yang umum digunakan pada baterai peralatan elektronik seperti baterai telepon genggam, laptop, dan kendaraan listrik. Material ini berkinerja tinggi dan memiliki kapasitas pengisian cepat serta umur yang panjang.
Saat ini, sekitar 83% pasokan grafit alam dunia berasal dari China dan Brasil. Namun, tidak semua grafit alam dapat digunakan sebagai anoda baterai, karena alasan kemurnian dan kualitas ukuran kristalnya.
Baca Juga: Begini rencana PGN dalam percepatan masterplan infrastruktur gas bumi 2021-2023
Grafit sintetik memiliki kemurnian dan ukuran kristal yang homogen. Sayangnya, biaya proses pembuatan grafit sintetik secara konvensional dari minyak bumi masih mahal yakni mencapai 10 kali biaya pengolahan grafit alam.
Walaupun harga grafit sintetik melangit, proporsi pemakaian grafit sintetik sebagai anoda baterai tidak berkurang. Untuk menekan biaya produksi, biasanya grafit sintetik dicampur dengan grafit alam olahan atau spherical graphite.
"Per tahun 2014 proporsi grafit sintetik mencapai 33%-40% dan diprediksi terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan baterai mobil listrik,” sambung Slamet dalam siaran pers yang di situs Kementerian ESDM yang dikutip Kontan.co.id, Senin (11/1).
Berdasarkan data yang dipublikasi oleh produsen mobil listrik Tesla, permintaan grafit alam diperkirakan meningkat setiap tahunnya sebesar 154%. Hasil ini menempatkan grafit sebagai bahan galian paling diburu ke depannya.
Oleh karena itu, penelitian grafit sintetik perlu dilakukan untuk mengantisipasi ledakan permintaan, apalagi Indonesia tidak memiliki tambang grafit alam yang ekonomis.
Batubara peringkat rendah di Indonesia sangat berlimpah dan potensinya cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai prekursor karbon dalam pembuatan anoda baterai. Pada umumnya, batubara menghasilkan senyawa hidrokarbon ketika dibakar dengan oksigen dan menghasilkan panas.
Namun, jika batubara dipanaskan dalam kondisi tanpa oksigen, maka akan didapatkan hidrokarbon dalam bentuk ter batubara yang dapat diolah lebih lanjut menjadi pitch. Proses pembuatan ter batubara ini dikenal sebagai pirolisis, sementara proses pengolahan ter menjadi pitch biasanya melalui distilasi. Kedua proses ini telah diteliti dan dikuasai oleh para peneliti Puslitbang Tekmira Kementerian ESDM.
Walau demikian, tidak semua bagian dari pitch tersebut dapat dijadikan grafit sintetik sehingga perlu proses modifikasi dan ekstraksi menggunakan pelarut. Hanya sekitar 30%-40% dari pitch yang dapat diekstrak dan kemudian dapat dijadikan prekursor karbon untuk pembuatan grafit sintetik. Produk hasil ekstraksi sering juga disebut sebagai mesophase pitch, karena mengandung 100% karbon yang dapat dikonversi menjadi grafit.
Ketua Tim Penelitian Phiciato memaparkan, proses pembuatan grafit sintetik secara konvensional, baik yang menggunakan minyak bumi maupun batubara harus melalui proses pada suhu ekstrim sekitar 2.000--3.000 derajat celcius.
Baca Juga: Permudah pembayaran tagihan GasKita, PGN gandeng Pegadaian
Kondisi ini sulit diterapkan secara ekonomis pada skala industri. Dengan bantuan katalis, suhu proses dapat diturunkan hingga mendekati 1.000 derajat celcius. Hasil pengamatan dengan X-Ray Diffraction menunjukkan grafit sintetik dapat terbentuk pada suhu 1.200 derajat celcius dengan bantuan katalis berbasis Fe (Ferrum).
"Kunci keberhasilan dipengaruhi dua aspek yaitu efektivitas pembuatan mesophase dan pemilihan jenis katalis. Saat ini, tim peneliti masih berfokus pada pembuatan mesophase dan ke depan akan mengembangkan katalis yang cocok dan ekonomis,” ujar Phiciato.
Peneliti Muda Puslitbang Tekmira ini menguraikan, pada prinsipnya grafit sintetik dapat disintesa dari segala jenis material karbon seperti biomassa, jelaga, arang, dan limbah industri, asalkan memiliki media katalis yang cocok dan jaminan ketersedian pasokan.
Jika dibandingkan dengan biomassa, kandungan karbon tetap atau fixed-carbon pada batu bara rata-rata 2—3 kali biomassa. Hal ini yang mendasari pemilihan batu bara dan turunannya sebagai prekursor karbon yang ekonomis. Semakin tinggi kandungan karbon tentu berdampak pada semakin baiknya keekonomian proses grafitisasi.
Selanjutnya: BI: Indeks keyakinan konsumen bulan Desember 2020 menguat ke 96,5
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News