kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Teknologi CCUS Dinilai Sulit Diterapkan pada Sektor Ketenagalistrikan Indonesia


Rabu, 27 April 2022 / 14:41 WIB
Teknologi CCUS Dinilai Sulit Diterapkan pada Sektor Ketenagalistrikan Indonesia
ILUSTRASI. Emisi karbon. REUTERS/Wolfgang Rattay/File Photo


Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Implementasi teknologi carbon capture & utilization storage (CCUS) dinilai sulit untuk diterapkan pada sektor ketenagalistrikan Indonesia. Merujuk pada laporan terbaru yang diterbitkan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), implementasi ini menemui sejumlah kendala. 

IEEFA mengungkapkan, berbagai kendala komersil yang dihadapi sangat mungkin akan menghambat pengembangannya. Penerapannya di berbagai negara maju masih sangat minim, terlebih lagi untuk pasar yang sensitif terhadap harga dengan standar kontrol emisi yang tidak terlampau ketat seperti di Indonesia.

Selain itu, hingga saat ini, tidak ada faktor pendorong yang tepat untuk mengimplementasikan teknologi CCS/CCUS di kawasan Asia Tenggara. 

Penulis laporan sekaligus analis energi IEEFA Putra Adhiguna menilai, dengan sangat sedikit valuasi emisi karbon, dukungan dana publik, dan dorongan pasar untuk mengembangkan CCUS, penerapan CCUS di Asia Tenggara nyaris tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat.

Baca Juga: Konsorsium Jerman Akan Buat Sistem Paspor Baterai Untuk Lacak Konten dan Jejak Karbon

"CCUS bisa berjalan ketika ditempatkan pada konteks operasional tertentu, misal pada negara dengan harga karbon tinggi dan regulasi yang ketat terhadap emisi. Selain Singapura, hampir tidak ada harga karbon yang signifikan di pasar Asia Tenggara, sementara CCUS intinya memberlakukan 'pajak' untuk terus mengeluarkan emisi," kata Putra dalam keterangan resmi, Selasa (26/4).

Selain itu, CCUS memiliki ranting aplikasi yang sangat bervariasi, seperti untuk pemrosesan gas hingga pembangkit listrik, dan masing-masing memiliki tingkat kematangan dan biaya yang berbeda. Dalam penyampaian rencana yang ada, harus jelas jenis CCUS yang mana yang akan diaplikasikan karena tanpa kejelasan, hal tersebut dapat menimbulkan kerancuan pemahaman publik.

Biaya CCUS bervariasi mulai dari di bawah US$ 50 hingga lebih dari US$ 100 per ton karbondioksida (CO2) yang tertangkap. Menurut Putra, selama ini ada klaim yang memunculkan kerancuan di publik bahwa biaya CCUS untuk pembangkit listrik terus turun. Padahal, klaim itu kebanyakan hanyalah berbasis studi, dan menimbulkan banyak pertanyaan menyusul penutupan proyek CCUS kelistrikan unggulan di Amerika Serikat.

Pada 2021, AS menutup proyek CCUS Petra Nova di Texas dengan alasan keekonomian setelah hanya tiga tahun beroperasi. Proyek pemasangan CCUS senilai US$ 1 miliar tersebut telah mendapat US$ 190 juta bantuan dana pemerintah AS, namun tetap gagal beroperasi. Biaya untuk penggunaan CCUS tersebut sangat besar mengingat penggunaannya ‘hanya’ untuk PLTU batu bara berkapasitas 240MW.

“Amerika Serikat telah mengucurkan setidaknya US$ 1,1 miliar dana publik untuk menopang bergagai rencana CCUS di kelistrikan dan industri, tetapi tidak ada satu pun dari delapan proyek kelistrikan yang didukung berjalan hari ini," kata Putra.

Putra menambahkan, Uni Eropa telah menghabiskan setidaknya € 424 juta dengan 'kemajuan tidak seperti yang direncanakan', sebagaimana dinyatakan oleh European Court of Auditors. Sementara kebanyakan negara di Asia Tenggara kemungkinan tidak akan mampu memberikan dana publik yang besar untuk mendukung pengembangan CCUS.

Dengan biaya yang tinggi, proyeksi perkembangan CCUS sangat mungkin akan berbeda dengan teknologi energi terbarukan lain yang dapat diproduksi dalam unit dan biaya yang lebih kecil. "Mengembangkan dan memperbaiki secara bertahap turbin angin senilai US$ 3 juta hingga US$ 4 juta sangat mungkin akan lebih mudah dibandingkan proyek uji coba CCUS yang berbiaya ratusan juta dolar," ujar Putra.

Baca Juga: Airlangga: Ekonomi Hijau Dorong Pembangunan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan

Tiga pemimpin potensial proyek CCUS di Asia, yakni Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan, masih harus mengejar banyak ketertinggalan. Perkembangan CCUS di tiga negara ini menjadi penting, terutama menyusul cepatnya Amerika Serikat meninggalkan batu bara, dan mungkin perhatian mereka pada CCUS PLTU, yang merupakan bagian terbesar dari bauran listrik di Asia Tenggara.

Putra menyarankan agar pemerintah berhati-hati menaksir biaya keseluruhan CCUS karena teknologi ini mengkonsumsi energi dalam jumlah signifikan, yang emisinya juga perlu dihitung. Di Asia Tenggara, hal ini teramat penting mengingat standar emisi yang longgar yag kemungkinan memerlukan peralatan tambahan untuk penggunaan CCUS.

Putra menegaskan, penggunaan CCUS di pembangkit listrik akan dapat menurunkan kapasitas pembangkitan listrik, bahkan lebih dari 20-30%. Peningkatan biaya listrik 6-9 sen/kWh bahkan lebih sangatlah mungkin. Meski saat ini harga baterai penyimpanan energi masih berkompetisi ketat, namun proyeksi penurunan harga di energi terbarukan dan penyimpanan listrik tampak lebih menjanjikan dibandingkan CCUS. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×