Reporter: Bernadette Christina Munthe, Handoyo | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Dampak krisis perekonomian global yang terjadi di Eropa dan Amerika mulai terlihat pada permintaan lemak serta minyak nabati dan hewani. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang September lalu, nilai ekspor lemak dan minyak asal Indonesia hanya mencapai US$ 1,807 miliar. Nilai ini melorot US$ 666,5 juta atau 26,9% dari ekspor lemak dan minyak bulan Agustus yang mencapai US$ 2,474 miliar.
Meski secara bulanan menurun, namun bila dihitung selama setahun penuh, nilai ekspor lemak dan minyak sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini menyentuh US$ 15,769 miliar. Pencapaian ini masih lebih tinggi 54,12% dari nilai ekspor lemak dan minyak periode sama 2010 yang sebesar US$ 10,173 miliar.
Terkait hal ini, Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengakui, salah satu penyebab penurunan nilai ekspor lemak dan minyak adalah penurunan volume ekspor dan harga crude palm oil (CPO).
"Faktor utama yang menyebabkan permintaan dan harga CPO rendah adalah gejolak perekonomian global di Eropa dan Amerika," tutur Fadhil kepada KONTAN, Selasa (1/11). Karena itu, menurut Fadhil, penurunan volume dan harga CPO ini tidak ada kaitannya dengan keluarnya Indonesia dari keanggotaan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Ia memaparkan, jika Agustus volume ekspor CPO mencapai 1,608 juta ton, maka pada September lalu volume ini melorot 11,81% menjadi 1,418 juta ton. "Selain volume, nilai ekspor CPO pada September juga turun," ujarnya.
Maklumlah, harga CPO di pasar global memang selalu melorot sejak September. Sekadar catatan, harga rata-rata CPO di Malaysia Derivatives Exchange mencapai US$ 974,94 per ton. Harga ini melorot 3,6% dari harga rata-rata CPO pada bulan Agustus yang sebesar US$ 1.011,42 per ton.
Sementara itu, harga rata-rata CPO bulan Oktober pun kembali melorot 6,2% menjadi US$ 914,07 per ton. Pun begitu, bila dihitung sejak awal tahun, harga rata-rata CPO masih tetap bertengger di US$ 1.048,25 per ton.
Terkait hal ini, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Deddy Saleh menilai, penurunan ekspor CPO terjadi karena bea keluar (BK) kelapa sawit pada September yang tinggi, yakni 15%. "Kebijakan ini berhasil menahan laju ekspor bahan mentah CPO dan mendorong perkembangan hilirisasi kelapa sawit di Indonesia," tutur Deddy.
Senada dengan Fadhil, Deddy pun memandang penurunan ini bukan disebabkan keluarnya Indonesia dari RSPO.Sebab, sejumlah eksportir CPO domestik masih bergabung dalam forum internasional tersebut. Seperti diketahui, sejauh ini hanya Eropa yang mensyaratkan sertifikat lestari CPO, sedangkan China dan India bleum mensyaratkan sertifikat tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News