Sumber: TribunNews.com | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Terregra Asia Energy Tbk (TGRA) tengah menggenjot pembangunan proyek pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan nilai investasi US$ 1 miliar. Ekspansi tersebut diharapkan akan menghasilkan profit hingga US$ 60 juta pada 2023.
Wakil Direktur Utama PT Terregra Asia Energy Tbk Lasman Citra mengungkapkan, Indonesia punya potensi sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) sangat besar.
EBT juga disebut energi masa depan, lantaran energi berbasis fosil dipastikan bakal habis. Tak heran, pihak asing pun tertarik masuk ke bisnis renewable energy di Indonesia seperti dilakukan oleh TGRA.
Bagi Lasman, ketertarikan asing pada renewable energy di Indonesia sangat wajar. Dengan potensi besar yang belum dimanfaatkan maksimal, kehadiran banyak pemain akan mendorong pemerintah untuk juga fokus mendorong regulasi pro renewable energy sehingga ujungnya menggerakkan investasi.
Meski begitu, kata Lasman, pemanfaatan potensi sumber EBT belum dilakukan secara masif. Regulasi yang belum berpihak, ditambah biaya investasi yang dianggap masih mahal menjadi kendala utama.
Toh, bagi TGRA, kendala itu tak menghalangi perusahaan terus ekspansi. Asal tahu saja, di bisnis elektrifikasi, Terregra bukanlah pemain baru.
Kata Lasman, TGRA awalnya bernama PT Mitra Megatama Perkasa (MMP) yang bergerak sebagai rovide maintenance untuk power plant yang ada di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
"Kami memasok spare parts, operating maintenance untuk Pembangkit Tenaga Diesel (PLTD) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)," kata Lasman, kepada media, Selasa (14/8).
Seiring waktu, proses transformasi terjadi di tahun 2010, MMP yang berubah nama jadi Terregra, kemudian melakoni bisnis Independent Power Producer (IPP) yang fokus pada pengembangan dan pemanfaatan sumber energi baru terbarukan (EBT).
Dalam melakoni bisnis IPP berbasis EBT, Terregra fokus pada pengembangakan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hydro dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atau solar power.
Kata Lasman, pilihan itu bukan tanpa dasar. Pasalnya potensi hydro di Indonesia yang ditaksir mencapai bisa menghasilkan listrik hingga 75.000 MW. Sementara untuk PLTS, per meter perseginya bisa menghasilkan hingga 4,8 kilo watt hour (KWH).
Apalagi teknologi hydro dipandang bukan sesuatu yang baru. Indonesia bahkan sudah punya PLTA sejak zaman Belanda dan hingga kini masih berfungsi baik.
Apalagi di luar negeri sudah hampir 100 tahun berjalan dengan baik. Jadi secara teknologi sudah proven. "Risiko secara bisnisnya jadi lebih kecil,” ujar Lasman.
Sementara teknologi untuk PLTS juga semakin murah. Sekitar 10 tahun lalu untuk bangun 1 MW PLTS dibutuhkan investasi sekitar US$ 3 juta, per hari ini sudah di bawah US$ 1 juta per 1 MW.
Ia menjelaskan, renewable itu bukan bahan baku energi, hanya manfaatkan sinar matahari dengan teknologi. Nah, begitu volumenya besar maka investasi teknologinya pasti akan lebih murah.
Lasman menambahkan, selama delapan tahun bergelut di bisnis IPP, Terregra tengah membangun sebanyak sembilan proyek hydro yang berlokasi di Aceh dan Sumatera Utara.
Proyek-proyek tersebut di bawah kendali anak usaha PT Terregra Hydro Power (THP). Tahapan pengembangan masing-masing proyek berbeda, ada yang di tahap detail engineering design, ada yang tahapnya feasibility study final. Lalu ada yang pembebasan lahannya sudah 100 %, ada yang 70 %.
Terregra berharap sembilan proyek hydro tersebut akan beroperasi secara komersial secara bertahap hingga tahun 2023 dengan total kapasitas produksi mencapai 450 MW.
Berdasarkan jadwal commercial on date (COD), Lasman mengatakan pada 2019 dua proyek hydro akan COD dengan chapatis maksimal 30 MW, lalu 3-4 lainnya pada 2020 dan selebihnya paling cepat pada akhir 2022, sehingga tahun 2023 semuanya sudah menghasilkan revenue.
Ia optimis, ketika semua proyek beroperasi, Terregra akan mengantongi profit sebesar US$ 50 juta - US$ 60 juta. Posisi earning before interest, taxes, depreciation, and amortization (EBITDA) berada di angka US$ 190 juta.
Adapun angka revenue diharapkan berada di level US$ 200 juta - US$ 250 juta. Hitung-hitungan itu menurutnya realistis mengingat bisnis listrik EBT tidak terikat dengan biaya operasional yang tinggi, sebab tidak butuh bahan bakar.
“Jadi target saya dengan menggunakan EBITDA, 5-6 kali saja valuasi Terregra bisa mencapai US$ 1 milliar ,” pungkas Lasman. (Sanusi)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Bangun Pembangkit Listrik Berbasis EBT, Terregra Asia Investasi 1 Miliar Dolar AS,
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News