kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tidak Didukung Kebijakan, Industri Modul Surya di Ujung Tanduk


Senin, 20 Februari 2023 / 11:50 WIB
Tidak Didukung Kebijakan, Industri Modul Surya di Ujung Tanduk
ILUSTRASI. Target energi terbarukan di 2025 bisa tidak tercapai


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bagai telur di ujung tanduk bisa menjadi adagium yang tepat menggambarkan kondisi industri pabrikan modul surya Tanah Air saat ini. Hanya ada dua pilihan bagi mereka, gugur atau merogoh kocek lebih dalam untuk berinvestasi membeli mesin baru demi mengikuti pergeseran permintaan pasar.

Pelaku usaha produsen modul surya, Christopher menceritakan, kecemasan akan prospek bisnis sudah mulai dirasakan sejak dua tahun lalu, ketika pandemi Covid-19 sedang tinggi-tingginya. Tentu di kala itu, konsentrasi pemerintah dan masyarakat lebih kepada kesehatan sehingga proyek energi terbarukan tidak begitu diprioritaskan.

Namun, pengusaha masih memegang harapan dari program transisi energi yang menargetkan bauran energi baru terbarukan (EBT) 23% pada 2025 dan Net Zero Emission pada  2060. Ekspektasinya, semakin dekatnya tenggat itu, proyek energi terbarukan semakin masif.

Sayangnya, ekspektasi tidak sesuai realita. Ketidakpastian kebijakan menjadi salah satu biang masalah seretnya permintaan PLTS. Christopher menceritakan peraturan pembangkit surya sejak 2019 hingga saat ini belum memberikan perubahan di pasar.

“Kebijakan yang membebani perusahaan ialah izin pemasangan dari PLN sangat sulit keluar. Sudah begitu, ada pembatasan pemasangan 15% dari kapasitas dan sekarang malah tergantung kuota PT PLN. Banyak hambatan untuk penjualan ke segmen industri dan perumahan,” ceritanya kepada Kontan.co.id, Kamis (16/2).

Ditambah pula, industri modul surya juga digempur produk luar negeri karena tidak ada batasan atau perlindungan dari barang impor.

Baca Juga: Pemerintah targetkan tambahan kapasitas EBT 368,5 MW pada tahun ini

Beberapa persoalan ini membuat penyerapan modul surya dalam negeri tidak lancar karena  proyek-proyek PLTS maju mundur.

Christopher bercerita, ada 5-10 perusahaan besar mulai dari otomotif, air, hingga kemasan yang kesulitan mendapatkan izin pemasangan PLTS Atap sehingga menunda pemasangan. Ada juga pengalaman lain, proyek pemasangan PLTS Atap sebesar 8 MW perizinannya baru keluar setahun lamanya.

“Ekspektasi pengembangan otomatis tidak sejalan dengan pasarnya. Ternyata pasarnya stuck,” ujarnya.

Jika pasar dalam negeri tidak bisa diharapkan, tentu pasar luar negeri bisa jadi peluang tersendiri karena ada sejumlah perusahaan modul surya lokal yang sudah menembus pasar internasional.

Namun pada kenyataannya, pilihan mengalihkan produksi untuk pasar internasional hanya bisa dilakukan sebagian perusahaan saja, terkhusus yang memiliki teknologi manufaktur modul surya sesuai standar pasar terkini.

Christopher memaparkan, perkembangan teknologi solar panel telah bertumbuh sangat pesat dalam empat tahun terakhir. Saat ini permintaan PLTS dunia dan lokal sudah beralih menggunakan sel surya (cell) generasi baru berukuran 182 millimeter (mm) atau 18,2 centimeter (cm) dengan tipe 9 bus bar (9BB).

Sedangkan mesin-mesin lama yang notabene digunakan industri modul surya di Indonesia maksimal memproduksi sel surya berukuran 158 mm atau 15,8 cm dan 166 mm atau 16,6 cm dengan tipe sel surya 5 Bus Bars (5BB).

Baca Juga: Kementerian ESDM Ungkap Target 53 Smelter pada 2023 Berpotensi Tidak Tercapai

“Ukuran yang berbeda ini membuat mesin lama menjadi tidak layak (feasible) untuk produksi,” terang Christopher.

Pergeseran permintaan sel surya ke ukuran lebih besar dan tipe generasi terbaru karena mengincar efisiensi yang lebih tinggi. “9BB ukuran besar, efisiensi dan ampere jauh lebih besar, secara kualitas berbeda,” ujarnya.

Sebagai informasi, 'bus bar' adalah strip logam yang menghantarkan listrik ke seluruh sel surya. Panel surya 9BB memiliki 9 bus bar yang menghubungkan sel surya individual ke sel surya lain dalam panel. Semakin banyak bus bar yang dimiliki, semakin efisien dalam menghantarkan listrik. Panel surya 9BB ditengarai lebih efisien hingga 25% dibandingkan panel surya standar 5BB.

Untuk bisa memproduksi sel surya berukuran lebih besar dengan tipe 9BB, minimal investasi baru yang dibutuhkan sekitar US$ 2 juta hingga US$ 3 juta atau setara Rp 30 miliar hingga Rp 45 miliar (kurs Rp 15.000 per dolar AS). Christopher bilang, investasi sebesar ini pun hanya untuk satu lini produksi berkapasitas 80 MW saja.




TERBARU

[X]
×