Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pihak terus berupaya mendukung realisasi bauran energi baru dan terbarukan (EBT) nasional, di antaranya terkait penggunaan energi pada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Salah satu upaya yang dilakukan adalah meningkatkan peran industri panel surya dalam negeri untuk mengerek penggunaan komponen lokal sehingga harga PLTS bisa semakin kompetitif.
Herman Supriadi, Direktur Industri Permesinan dan Alat Mesin Pertanian mengatakan pemanfaatan energi surya menjadi satu opsi yang terus dikembangkan Kementerian Perindustrian. Herman mengatakan, Kemenperin telah membuat rencana induk pengembangan industri nasional (RIPIN) yang di dalamnya terdapat 10 industri prioritas, salah satunya ialah industri pembangkit listrik tenaga surya.
Adapun dalam pengembangan industri pembangkit energi sesuai Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 memuat kebijakan terkait dengan pemanfaatan energi surya.
Pertama, mengembangkan roadmap secara komprehensif melalaui analisis keekonomian sumber Energi baru terbarukan (EBT) dan penyusunan jadwal konversi energi secara terencana dalam jangka panjang. Kedua, memfasilitasi pendirian pabrik yang mengolah material komponen pembangkit listrik tenaga surya. Ketiga, memfasilitasi alih teknologi industri sel surya melalui pendirian ataupun akuisisi.
Keempat, memfasilitasi fasilitas penelitian dan pengembangan komponen sel surya untuk implementasi industri dan masayakat. Kelima, mengembangkan kebijakan listrik perumahan dari solar cell untuk menambah kapasitas daya listrik nasional.
"Dalam rangka memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri, Kemenperin melalui kebijakan peningakatan TKDN akan selalu mendorong persyaratan TKDN dalam setiap pengadaan PLTS," ujarnya dalam acara Empat Tahun GNSSA Tantangan Pengembangan Industri Surya Sebagai Bagian dari Transisi Energi secara virtual, Jumat (24/9).
Baca Juga: Soal RUU EBT, DPR: Insentif tarif berpotensi bebani keuangan negara
Kemenperin telah menerbitkan Peraturan Kementerian Perindustrian Nomor 4 Tahun 2017 tentang Ketentuan dan Tata Cara Peningkatan TKDN untuk pembangkit listrik tenaga surya. Selain itu, Peraturan Kementerian Perindustrian No 5 Tahun 2017 yang selalu berdampingan terkait perubahan peraturan Kemenperin No 54 tahun 2012 tentang pedoman penggunaan produk dalam negeri untuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan yang di dalamnya mensyaratkan nilai TKDN minimal, khusus untuk PLTS.
Dalam Permen No 5 tahun 2017 disebutkan, untuk PLTS tersebar berdiri sendiri TKDN gabungan barang dan jasa minimal 45,9%, PLTS terpusat berdiri sendiri TKDN gabungan barang dan jasa minimal 43,72%, kemudian PLTS terpusat dan terhubung TKDN gabungan barang dan jasa minimal 40,68%.
Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin, Doddy Rahadi sebelumnya pernah menyampaikan, Kemenperin telah menyusun peta jalan yang sudah mencakup pemetaan untuk mengukur kemampuan industri penunjang ketenagalistrikan.
Pada periode tahun 2019 – 2020, ditargetkan nilai TKDN meningkat menjadi 76% yang didukung dengan adanya ingot factory. Kemudian periode tahun 2020 – 2022, diharapkan mencapai target TKDN sebesar 85% dengan adanya solar grade silicon factory. “Tahap terakhir pada periode tahun 2023 – 2025, pencapaian nilai TKDN minimal sebesar 90% dengan adanya metallurgical grade silicon factory,” tutur Doddy.
Doddy menambahkan, energi surya di Indonesia saat ini memiliki potensi sebesar 532,6 GWp per tahun. Namun hingga saat ini kapasitas produksi nasional yang terpasang sebesar 515 MWp dan total kapasitas PLTS di Indonesia sebesar 25 MWp.
“Hal ini menunjukkan serapan pasar masih sangat kecil dari kapasitas produksi nasional, diharapkan serapan tersebut dapat terus meningkat guna mendukung bauran EBT nasional,” ujarnya.
Berdasarkan data dari Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI), saat ini terdapat 10 industri panel surya di Indonesia dengan total 515 MWp. Salah satu industri panel surya dengan kapasitas produksi tertinggi adalah yakni PT Len Industri dengan kapasitas 71 MWp.
Menurut data Kementerian Perindustrian, importasi produk sel surya sejak 2018-2020 mengalami penurunan yang signifikan. Perinciannya, di 2020 nilai impor sel surya sebesar US$ 3,5 juta atau turun 76% dibanding 2018. Begitu juga dengan produk modul surya mengalami penurunan tren impor sejak 2018 atau turun 56% di 2020. Nilai impor sel surya di tahun lalu senilai US$ 14,8 juta.
Yohanes Bambang Sumaryo, Ketua Pengguna Lisrik Surya Atap (PPLSA) turunnya importasi sejumlah komponen panel surya karena adanya substitusi impor. Dia menggambarkan, pada 6 tahun lalu jika membeli atau mengimpor satu kontainer modul surya, harga FOB dari luar negeri sebesar US$ 60 sen per Wp. "Ini baru harga saja, belum lagi biaya logistik atau biaya shipping, pajak, dan lainnya," ujarnya.
Yohanes mengungkapkan, hari ini produsen dalam negeri sudah ada yang menjual modul surya dengan harga sekitar US$ 30 cent per Wp. Dapat dikatakan, harga saat ini sudah separuhnya dari harga 6 tahun lalu. "Kondisi seperti ini membuat pelaku usaha tidak impor lagi karena sudah ada di dalam negeri. Hal ini juga akan berefek pada melonjaknya pemasangan PLTS ke depannya," tegasnya.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR memaparkan dalam beberapa tahun terakhir, PLTS semakin kompetitif. "Melihat data yang ada, proyek-proyek yang dapat kami kumpulkan, misalnya di 2015 dimulai dengan PLTS di Kupang dengan kapasitas 5 MW dan di beberapa tempat lain harga perjanjian jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA) masih US$ 25 sen per KwH," jelas Fabby.
Baca Juga: Kementerian ESDM proyeksikan energi bersih topang kebutuhan listrik pada tahun 2060
Kemudian di 2020, jika melihat proyek yang sudah kontrak seperti floating PV di Cirata, harga PPA-nya sudah di posisi US$ 5,8 sen per KwH. Kemudian hasil market sounding yang dilakukan PLN melalui PT Indonesia Power yang memberikan harga untuk beberapa proyek Floating VP dan kombinasi semisal untuk Lampung 100 MW solar plus storage harga PPA-nya sudah di bawah Us$ 4 sen per KWH.
"Kami percaya bahwa seiring dengan proses lelang yang semakin transparan, perencanaan lelang terjadwal, dan kemudian penurunan harga teknologi modul surya yang semakin rendah dan tingkat resiko di Indonesia yang juga semakin rendah, ini membuat harga PLTS ke depan bisa lebih murah," kata Fabby.
Fabby bilang, kalau dengan volume yang cukup besar, pihaknya melihat harga PPA di bawah US$ 4 sen per KwH bisa tercapai dalam dua tahun ke depan dan kemudian akan menjadi benchmark harga baru.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan dalam mengejar target bauran energi melalui pengembangan PLTS, pemerintah juga melihat aspek-aspek keekonomian serta daya saing.
Untuk mendorong investasi dan permintaan PLTS, salah satunya PLTS Atap, Kementerian ESDM telah menerbitkan Permen ESDM No 26 Tahun 2021 Tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum.
Dadan mengungkapkan, Permen PLTS Atap sudah terbit secara formal. Tetapi dalam tahapannya pada saat memproses Permen ini ada Perpres yang mengharuskan proses-proses izin ke presiden. "Mudah-mudahan Perpresnya segera keluar sehingga bukan hanya target 1 juta atap yang didorong, tapi juga proyek-proyek lain yang masuk green," tandasnya.
Selanjutnya: Permen PLTS Atap perlu melewati tahap ini sebelum diimplementasikan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News