kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Total lahan yang tersertifikasi ISPO mencapai 4,53 juta ha hingga Maret 2021


Kamis, 23 September 2021 / 17:05 WIB
Total lahan yang tersertifikasi ISPO mencapai 4,53 juta ha hingga Maret 2021
ILUSTRASI. Total lahan yang tersertifikasi ISPO mencapai 4,53 juta ha hingga Maret 2021


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA, Program sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) telah berjalan selama 10 tahun lamanya di Indonesia. Dari total luas areal kelapa sawit 16,83 juta hektare (ha), perkebunan yang bersertifikat ISPO mencapai 4,53 juta ha (27%) yang menghasilkan 12,04 juta ton CPO sampai Maret 2021.

Setelah terbitnya Perpres 44/2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia dan Permentan Nomor 38/2020, sertifikasi ISPO dinilai lebih cepat karena karena tanggung jawab penerbitan sertifikat ISPO berada di tangan lembaga sertifikasi.

Hal ini terungkap dalam Dialog Webinar bertemakan “Refleksi 10 Tahun ISPO: Percepatan Sawit Indonesia Berkelanjutan” yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia, Rabu (22/9/2021). 

“Dalam setahun terakhir, telah terjadi percepatan penerbitan sertifikasi ISPO. Sebab, kewenangan menerbitkan ISPO berada di tangan lembaga sertifikasi bukan lagi pemerintah. Wajar apabila ada percepatan,” ujar Ketua Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB), Achmad Mangga Barani. 

Baca Juga: Kementan menyetujui kelanjutan moratorium sawit

Ia menjelaskan sertifikasi ISPO sepanjang 10 tahun terakhir sudah melakukan tiga kali mengalami perbaikan peraturan dan perundang-undangan sertifikasi ISPO. Permentan No.19 Tahun 2011 yang digunakan dasar melakukan sertifikasi ISPO menerbitkan 127 sertifikat untuk perusahaan sepanjang tahun 2011-2015.

Periode kedua adalah Permentan Nomor 11 Tahun 2015 yang berjalan dari 2016-2019 telah menghasilkan 494 sertifikat terdiri dari 480 perusahaan, 4 KUD dan 10 koperasi.

Kemudian lahirlah Permentan No.38 Tahun 2020. Dalam Permentan baru ini seluruhnya dilakukan lembaga Sertifikasi (LS). Semenjak Juli 2020 sampai Agustus 2021 mampu menerbitkan 139 Sertifikat.

“Apa yang kita lakukan ada kemajuan berarti. Salah satu contoh, ada lembaga sertifikasi di periode Permentan Nomor 19 Tahun 2011 hanya menerbitkan  4 sertifikat dalam kurun waktu empat tahun,” kata dia.

Percepatan ISPO perlu dilakukan diantaranya melakukan refreshment bagi auditor internal perusahaan dan LS serta penambahan auditor internal perusahaan sesuai standar minimal.

Baca Juga: Menanti nasib moratorium, industri sawit tetap harus memperhatikan lingkungan

Kemudian meningkatkan kesadaran, pemahaman, dan komitmen pelaku usaha perkebunan. Langkah berikutnya adalah penyempurnaan P&C Permentan No.38 Tahun 2020 karena jika tidak dilakukan akan menjadi hambatan. 

Untuk itu, Mangga Barani pembentukan Sekretariat Komite ISPO lebih cepat. “Ini sudah menjadi amanat Peraturan Menko Perekonomian, namun sampai hari ini belum terbentuk,” ungkap dia.

Achmad Mangga Barani juga mengusulkan  penyediaan dana untuk kegiatan penetapan kelas kebun perusahaan dan STDB perkebunan rakyat. Adapula kebutuhan terhadap penyediaan tenaga pendamping pekebun.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, dalam 10 tahun ini ada kemajuan dalam sertifikasi ISPO yang mencapai 763 perusahaan. “Anggota Gapki sebanyak 496 perusahaan. Gapki mencanangkan 100% sertifikasi ISPO pada 2020 dan itu sebuah keniscayaan karena ini kewajiban,” ujar dia.

Namun banyaknya hambatan dari pandemi, transisi ke ISPO baru dan faktor lain mengakibatkan target tersebut meleset. “Transisi agak delay karena ada 70 perusahaan sudah audit, namun pasca itu tidak jelas hasil proses sertifikasinya,” ujar Joko.

Kemudian aspek lembaga untuk melakukan komunikasi dengan sekretariat ISPO. “Ini penting sekali  karena selalu ada masalah sertifikasi ISPO dan perlu kordinasi atau komunikasi,” ujar Joko.

Adanya Undang-Undang Cipta Kerja perlu ada penyesuaian dalam prinsip dan kriteria ISPO. “Dalam UU Cipta Kerja beberapa regulasi yang tadinya ketat, sekarang bisa relaksasi. Ini memengaruhi kecepatan kita dalam mengejar 100 persen ISPO,” jelas Joko.

Untuk mempercepat sertifikasi ISPO, perusahaan sawit yang tergabung dalam Gapki telah melakukan refreshment auditor dan melakukan pelatihan atau klinik sawit. 

“Bahkan dalam kepengurusan Gapki  telah ditunjuk Ketua Bidang khusus ISPO yang bekerja membuat sistem aplikasi untuk mendukung ISPO dan diharapkan semua anggota Gapki menggunakan aplikasi itu,” tambah dia.

Baca Juga: DMSI sebut moratorium sawit penting untuk kejelasan jaminan berusaha

Tantangan lain adalah keberterimaan sertifikasi ISPO di Uni Eropa hingga kini belum terealisasi. “New ISPO karena ada janji Uni Eropa akan menerima (sertifikasi). Selanjutnya terdapat perubahan dalam P&C seperti tambahan aspek transparansi dan traceability,” jelas dia.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Mahmud menjelaskan, pemerintah mendorong agar ISPO menjadi bagian dari kepentingan nasional. Saat ini, pemerintah berupaya menyelesaikan terbentuknya sekretariat ISPO untuk mempermudah proses koordinasi ISPO. 

Musdhalifah menuturkan ISPO bukan hanya untuk menjaga imej tetapi lebih besar lagi menjaga eksistensi kelapa sawit dari generasi ke generasi. 

“Memang keberterimaan ISPO di pasar internasional masih belum signifikan. Tetapi, kita harus yakin itu semua dapat tercapai. Semua pemangku kepentingan memberikan perhatian optimal agar ISPO bisa dipercepat implementasikan ke seluruh kebun sawit,”ujar pemegang gelar Doktor dari IPB University ini.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung mengungkapkan bahwa sertifikasi ISPO itu baik dan petani sawit komitmen untuk menuju ke sana. Kendalanya cukup berat ini terlihat dari data dalam 10 tahun terakhir baru 12.600 ha kebun petani yang bersertifikat ISPO.

Ada kendala utama sertifikasi ISPO petani yakni legalitas lahan. Berkaitan persoalan kawasan hutan di perkebunan sawit dan 73% kebun sawit petani berada di hutan produksi.

Peremajaan sawit rakyat (PSR) itu peluang menerapkan ISPO, namun sekitar 84% gagal mengusulkan program tersebut. “Padahal dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi berkategori berkelanjutan, namun kita terbentur dalam hukum dan tata kelola kehutanan,” ungkap Gulat.

Selanjutnya: Cisadane Sawit Raya (CSRA) optimistis capai kinerja positif di 2021, ini strateginya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×