kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,42   2,67   0.30%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tren rupiah menekan optimisme pengusaha


Kamis, 10 Desember 2015 / 11:06 WIB
Tren rupiah menekan optimisme pengusaha


Reporter: Emir Yanwardhana, Febrina Ratna Iskana, Nina Dwiantika, Pamela Sarnia, RR Putri Werdiningsih | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Mata pebisnis menyoroti rupiah yang kembali terjerembab ke posisi 14.000. Naga-naganya, mereka harus kembali memasang target konservatif dalam agenda bisnis tahun depan karena rupiah kembali susah dipegang.

Tren penurunan rupiah juga memaksa pengusaha menyiapkan skenario terburuk dalam penentuan asumsi nilai tukar rupiah. Benar, asumsi kurs rupiah terhadap dollar AS di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar 13.400.

Toh, bagi sejumlah pebisnis, patokan kurs itu sudah tidak realistis dan tak relevan lagi. Mereka membuat patokan kurs sendiri dalam rentang Rp 13.500-Rp 14.500 per dollar AS.

Faktanya, sejak Agustus 2015 rupiah tak pernah menyentuh 13.400. Di luar kurs, masih banyak faktor lain yang membuat bisnis tahun depan tampak suram. Mulai dari daya beli masyarakat yang tak membaik, pelaksanaan mega proyek infrastruktur pemerintah masih tanda tanya, ekonomi global lesu, hingga harga komoditas yang masih dalam tren turun.

Singkat cerita, satu-satunya harapan mereka adalah tahun depan rupiah bisa stabil, tidak terlalu liar seperti tahun sekarang. Ini penting agar pengusaha bisa membuat perhitungan biaya yang lebih pasti, terutama industri yang mengandalkan bahan baku impor.

Salah satunya industri farmasi. "Fluktuasi nilai tukar mempengaruhi beban," kata Rusdi Rosman Direktur Utama PT Kimia Farma Tbk, kepada KONTAN, kemarin.

Dengan asumsi rupiah stabil, plus laju belanja pemerintah lancar, prediksi Rusdi bisnis farmasi secara umum bisa tumbuh 11% tahun depan. Jika yang terjadi berlawanan dengan harapan, niscaya laju industri farmasi makin berat.

Rupiah yang stabil juga jadi harapan pebisnis makanan dan minuman. Maklum, sekitar 25% bahan baku industri makanan masih mengandalkan impor. Mulai dari terigu, gula, hingga kemasan produk. Saat rupiah lemah, otomatis beban impor akan naik.

Celakanya, mereka harus berpikir seribu kali untuk menaikkan harga jual saat daya beli konsumen sedang memble. Tak heran, PT Mayora Indah Tbk, sebagai contoh, memilih target bisnis yang konservatif. Pertimbangannya, situasi bisnis makanan dan minuman tahun depan, tak jauh beda dengan situasi tahun ini.

Mayora pun memilih mempertahankan harga jual agar penjualan tetap positif pada tahun depan. "Target pendapatan tahun depan, minimal kami buat sama dulu dengan tahun ini," kata Sribugo Suratmo, Corporate Communication Mayora Indah.

Situasi industri otomotif tak kalah pelik. Pelemahan rupiah masih jadi ancaman serius bagi pabrikan otomotif. Alhasil, kata Direktur Pemasaran PT Toyota Astra Motor (TAM) Rahmat Samulo, TAM pilih mempertahankan harga jual mobil demi menjaga pasarnya, setidaknya supaya bisa sama dengan tahun ini.

Memang, tak semua dahi pebisnis berkerut. Misalnya, produsen kemasan. Antonius Muhartoyo, Direktur Utama PT Champion Pacific Tbk, memprediksikan pendapatan perusahaan yang dia pimpin bisa tumbuh 20% tahun depan.

Asalkan, bisnis industri pengguna kemasan juga berkembang dan tumbuh. Bank Indonesia dan pemerintah sebaiknya lebih awas lagi menjaga kekuatan rupiah. Pengalaman sudah membuktikan, rupiah yang loyo lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×