Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Rizki Caturini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kemajuan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) yang lambat menuai reaksi. Pasalnya, upaya pemerintah memberikan rekomendasi ekspor mineral mentah untuk menekan pembangunan smelter dianggap gagal.
Sejauh ini, mengacu data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ada sekitar 11 perusahaan pertambangan yang sudah mendapatkan rekomendasi ekspor. Meski begitu kemajuan pembangunan smelternya masih sangat rendah.
Pengamat Hukum Sumber Daya Alam dari Universitas Tarumanegara (Untar), Ahmad Redi menilai, kebijakan izin ekspor mineral mentah yang dibuka sejak 12 januari 2017 gagal total. Pasalnya, setelah jutaan ton nikel dan bauksit diekspor tanpa dimurnikan, tak satupun smelter terbangun.
"Kebijakan ini gagal total. Menteri ESDM (Ignasius Jonan) dan Dirjen Minerba (Bambang Gatot Ariyono) harus mundur," tegasnya kepada Kontan.co.id, Senin (4/11).
Asal tahu saja, mengacu data dari Kementerian ESDM, sampai dengan November kemarin, pemerintah sudah memberikan rekomendasi ekspor sebanyak 20,3 juta ton nikel kadar rendah dengan realisasi ekspor 2,7 juta ton. Dan, 14,6 juta ton ore bauksit dengan realisasi 640.214 ton.
Ia bilang, selain memberikan izin ekspor yang massif, pengawasan pembangunan smelter pun tidak berjalan. Maka demikian, pemerintah harus melarang ekspor mineral yang belum dimurnikan di dalam negeri pada 12 Januari 2018.
Kemudian pemerintah baru boleh memberikan izin ekspor bagi perusahaan-perusahaan yang memurnikan seluruh hasil tambangnya di dalam negeri, baik dengan membangun smelter sendiri maupun dgn bekerja sama dengan perusahaan smelter lainnya.
"Itu sesuai dengan Pasal 103 dan Pasal 104 UU Minerba (UU No. 4/2009," tandasnya.
Pengamat pertambangan sekaligus pelaku industri, Jonatan Handojo mengisahkan awal mula lahirnya kebijakan itu adalah Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari ESDM melalui sub sektor Minerba yang menurun drastis.
Kemudian alasan kedua, kata Jonatan, bahwa PT Aneka Tambang (Antam) mengeluhkan karena rapotnya merah. "Jalan yang tercepat untuk memperbaiki dengan jual Nickel Ore lagi saja yang sejak dahulu menunjukkan jumlah penghasilan 40% untuk Antam," ungkap Jonatan.
Setelah rapor yang memerah itu, pihak Antam melobi pemerintah dan akhirnya disepakati di tahun 2016 yang kemudian dibukalah wacana untuk relaksasi nikel dan bauksit itu, sehingga terbitlah dengan Permen No. 5 dan 6/2017 .
"Nyatanya PNBP naik bukan karena Permen 5 dan 6/2017 dan rapor Antam tetap tidak memuaskan. Semestinya sadarlah pemerintah kalau kebijakan itu ternyata sia-sia," terangnya.
Bahkan, kata Jonatan, kebijakan ekspor mineral ini malah memakan korban PHK karyawan smelter yang tidak bisa mendapatkan pasokan bahan baku mineral dari dalam negeri karena bahan tersebut di ekspor ke luar negeri.
Adapun 11 perusahaan yang mendaptkan ekspor namun perkembangannya masih rendah itu di antaranya: Untuk nikel, PT Ceria Nugraha Indotama masih 0%, PT Wanatiara Persada masih 5,34%. Kemudian PT Sambas Mineral Mining masih 3,21% dan PT Ifishdeco masih 39,01%.
Sementara untuk bauksit, PT Dinamika Sejahtera Mandiri masih 0%, PT Laman Mining masih 0%, PT Kalbar Bumi Perkasa masih 0,33%. Kemudian PT Lobindo Nusa Persada masih 0%. Adapun untuk konsentrat tembaga, PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk smelter konsentrat tembaga masih 0%, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) baru 5,67%.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba), Bambang Gatot Ariyono mengatakan, sesuai dengan Permen 6/2017 bahwa pembangunan smelter harus mencapai 90% dari rencana kerja per periode. Apabila memang pada saat periode itu tidak mencapai kemajuan berarti maka kegiatan ekspor akan dicabut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News