Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri produsen kemasan kaleng ikut terkena imbas dari penurunan produksi ikan kaleng di dalam negeri. Kondisi ini disebabkan minimnya pasokan ikan bahan baku dan pembatasan impor, yang membuat banyak pabrik pengolahan ikan tidak dapat beroperasi optimal.
Wakil Ketua Asosiasi Produsen Kemas Kaleng Indonesia (APKKI), Arief Junaidi, mengungkapkan bahwa saat ini tingkat utilisasi industri kemas kaleng hanya berkisar 40%–50%. Penurunan permintaan kaleng terutama berasal dari pabrik-pabrik pengalengan ikan, baik yang memproduksi untuk pasar domestik maupun ekspor.
“Pabrik sardin di beberapa daerah seperti Bali, Banyuwangi, dan Surabaya sudah mendapatkan kontrak ekspor sampai pertengahan tahun depan. Namun karena bahan bakunya terbatas, produksi mereka tidak bisa berjalan maksimal,” ujar Arief kepada Kontan, Senin (27/10/2025).
Baca Juga: Industri Pengalengan Ikan Tertekan Akibat Minimnya Pasokan Bahan Baku
Menurut Arief, kelangkaan bahan baku ikan, khususnya ikan lemuru terjadi karena kombinasi faktor alam dan pembatasan impor. Ia menjelaskan, fenomena serupa pernah terjadi pada 2006–2010 dan kini kembali terulang akibat perubahan iklim yang memengaruhi migrasi ikan.
“Di beberapa wilayah seperti pesisir Bali Utara, Selat Bali, hingga Pantura angin kencang dan ombak tinggi sehingga nelayan takut untuk melaut, bahkan banyak sekali korban-korban nelayan tenggelam dan hilang,” jelasnya.
Selain faktor alam, pemerintah juga memperketat kuota impor ikan, yang selama ini menjadi penyeimbang kebutuhan industri. Arief menuturkan, beberapa pabrik besar di Bali hanya mendapatkan jatah impor dua kontainer, padahal kebutuhan bahan baku bisa mencapai 100 ton per hari. Kondisi ini membuat harga ikan lokal melonjak tajam.
“Awal tahun ini harga ikan sekitar Rp 8.000–Rp 9.000 per kilogram, sekarang sudah mencapai sekitar Rp 16.500 per kilogram. Karena harga tinggi dan pasokan minim, banyak pabrik akhirnya menurunkan produksi,” kata Arief.
Baca Juga: Dukung Hilirisasi Perikanan, KKP Gencar Kenalkan Ratusan Produk Olahan Ikan
Penurunan produksi di industri pengalengan ikan otomatis menekan permintaan kaleng, baik jenis bulat untuk pasar lokal maupun jenis persegi (club can) untuk pasar ekspor. Arief menyebut, dampaknya sudah terasa sejak pertengahan tahun ini dan terus berlanjut hingga kini.
“Bulan lalu kami sudah menyampaikan keluhan ke Kementerian Perindustrian. Utilisasi di industri kaleng sekarang rata-rata hanya 40%–50%,” ujarnya.
Arief menilai kondisi ini sebagai situasi “loose-loose” karena merugikan banyak pihak: produsen ikan kehilangan peluang ekspor, produsen kemas kaleng kekurangan permintaan, sementara penerimaan devisa negara ikut berkurang.
Ia mendorong pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan impor ikan bahan baku, agar industri pengalengan dan sektor turunannya tetap dapat beroperasi.
“Kalau kondisi ini terus berlanjut, dampaknya bisa panjang. Bukan hanya ke pabrik, tapi juga ke nelayan dan pekerja borongan di daerah sentra perikanan,” tutup Arief.
Baca Juga: Koperasi Desa Digerakkan, Ikan Jadi Salah Satu Sumber Protein Utama Masyarakat
Selanjutnya: Harga Emas Merosot ke Bawah US$ 4.000 Dipicu Kemajuan Perundingan Dagang AS-China
Menarik Dibaca: Waspada Hujan Sangat Lebat, Ini Peringatan Dini Cuaca Besok (28/10) di Jabodetabek
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













