Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
Lebih lanjut, Hendra pun melihat bahwa faktor ekonomi global dan juga wabah corona ikut berdampak pada pembentukan kondisi tersebut. "Ketidakpastian perekonomian global tentu punya dampak termasuk merebaknya corona. Jika meluas dan berkepanjangan akan berpengaruh terhadap energy demand khususnya di Tiongkok," jelasnya.
Seperti diketahui, HBA dibentuk dari empat variabel, yaitu Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Global Coal Newcastle Index (GCNC), dan Platss 5900 GAR dengan bobot masing-masing 25%.
HBA diperoleh dari rata-rata keempat indeks tersebut pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6.322 kcal/kg GAR.
Baca Juga: Menperin: Hilirisasi bisa gaet investor dan mengerek ekspor
Sebagaimana yang dicatat Kontan.co.id, rata-rata HBA sepanjang 2019 anjlok dibanding tahun sebelumnya, dan menjadi yang terendah dalam dua tahun terakhir. Rata-rata HBA dari Januari-Desember 2019 hanya mencapai US$ 77,89 per ton, lebih mini dibanding rata-rata HBA 2017 yang sebesar US$ 85,92 per ton, dan HBA 2018 yang mencapai US$ 98,96 per ton.
Tak menjadi pertanda rebound
Menurut Hendra, kenaikan HBA pada Februari ini belum menjadi sinyal bagi penguatan harga batubara secara umum (Rebound). "Kenaikan HBA ini lebih karena faktor di atas, masih terlalu dini," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo. Singgih menilai, persentase kenaikan HBA Februari ini belum mencerminkan nilai bisnis secara umum.
Baca Juga: Dorong hilirisasi batubara, Kementerian ESDM akan berikan sejumlah insentif