kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ada anggapan gross split merugikan investor migas, mitos atau fakta?


Jumat, 18 Oktober 2019 / 09:40 WIB
Ada anggapan gross split merugikan investor migas, mitos atau fakta?
ILUSTRASI. Wakil Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral Arcandra Tahar KONTAN Grace Olivia


Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investasi minyak dan gas bumi ( migas) di Indonesia saat ini sudah memasuki babak baru. Dahulu para investor menggunakan skema cost recovery untuk pembagian hasil dari pengelolaan blok migas. Kini skemanya berbeda.

Sejak tahun 2017, pemerintah resmi mengubah kontrak kerja sama investasi di sektor hulu migas Indonesia dari skema cost recovery menjadi gross split. Perubahan itu diharapkan dapat menggenjot investasi migas.

Pada skema gross split, perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan kontraktor diperhitungkan di awal. Total bagi hasil sebelum pajak yang akan didapatkan oleh kontraktor merupakan hasil penjumlahan dari besaran bagi hasil dasar (base split), komponen pembagian sesuai kondisi lapangan (variable split), dan komponen yang nilainya terus berubah (progressive split).

Baca Juga: Adopsi gross split, kontrak WK Selat Panjang diteken

Sementara itu, pada skema cost recovery, sebelum hasil migas dibagi, produksi migas tersebut akan dikurangi terlebih dahulu dengan biaya-biaya yang dikeluarkan kontraktor selama produksi.

Jika biaya yang dibebankan tidak bisa dipulihkan semuanya dari pendapatan (setelah dikurangi First Tranche Petroleum (FTP)) di tahun berjalan, maka sisa biaya yang belum bisa dipulihkan tersebut (unrecovered cost) akan dibebankan ke tahun-tahun berikutnya (carry forward) sampai seluruh biaya bisa dipulihkan.

Terdapat empat prinsip yang mendasari skema gross split tersebut. Pertama, pendapatan pemerintah lebih pasti karena pemerintah menerima bagi hasil gross di awal. Kedua, lebih transparan. Penentuan persentase bagi hasil lebih pasti dalam karena menyesuaikan dengan karakter atau tingkat kompleksitas pengembangan lapangan.

Semua bentuk insentif tambahan untuk meningkatkan keekonomian proyek, diakomodasi melalui pemberian split tambahan (diskresi Menteri ESDM). Hasilnya, mekanisme pemberian insentif dan cara perhitungannya menjadi lebih sederhana.

Baca Juga: Kementerian ESDM akan terbitkan regulasi eksplorasi, ini tanggapan perusahaan mineral

Ketiga, dengan tidak adanya cost recovery, proses bisnis dalam pengusulan rencana pengembangan lapangan dan program kerja tahunan (pengeboran, kerja ulang, dan perawatan sumur, serta pemasangan fasilitas produksi) akan menjadi jauh lebih sederhana karena tidak perlu lagi ada diskusi dan verifikasi atau evaluasi biaya.

Terakhir, penerapan Kontrak Bagi Hasil Gross Split akan mendorong kontraktor migas dan industri pendukung menjadi lebih efisien dalam proses kerja. Pemerintah pun telah mengeluarkan regulasi yang mengatur penerapan skema tersebut, yaitu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (Permen ESDM) Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, yang kemudian direvisi menjadi Permen ESDM no. 52 tahun 2017.

Sayangnya, meski skema itu sudah ada diterapkan sejak 2017 lalu, masih banyak beredar mitos atau konsepsi keliru tentang skema gross split. “Salah satu penyebabnya karena kebanyakan kontraktor tidak mau mempelajari gross split langsung dari pemerintah,” ucap Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar pada acara Gross Split Coaching di City Plaza, Jakarta, Selasa (30/4/2019).

Baca Juga: Pertamina Hulu Energi kejar target pengeboran

Lantas apa saja mitos atau konsepsi keliru yang beredar di kalangan kontraktor dan masyarakat?

Berikut Kompas.com telah merangkum beberapa di antaranya.

Tidak memiliki peraturan pajak

Mulai 27 Desember 2017, pemerintah telah menetapkan peraturan yang mengatur masalah pajak tersebut. Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split.

PP tersebut menjelaskan poin-poin terkait perpajakan kegiatan industri hulu migas, seperti penyusutan harta, amortisasi, hingga loss carry forward. Dalam PP juga dijelaskan bahwa pada tahap eksplorasi dan eksploitasi sampai dengan saat dimulainya produksi komersial, kontraktor akan diberikan insentif fiskal.

Insentif itu berupa keringanan tarif pajak tidak langsung (indirect tax) sampai 0 persen untuk impor barang kena pajak, bea masuk, pajak pertambahan nilai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) lapangan migas eksploitasi.

Baca Juga: Butuh 10 Tahun dan Dana US$ 6 Miliar Untuk Kejar Produksi Minyak 1 Juta Barel

Pembagian hasil tidak pasti Ada anggapan yang menilai bahwa penerapan bagi hasil produksi dengan skema gross split tidak pasti dan hanya menguntungkan bagi pemerintah. Namun, anggapan ini keliru karena formulasi penentuan total bagi hasil sebelum pajak sudah diatur dalam peraturan menteri.

Berdasarkan Permen ESDM no. 8 tahun 2017 dan Permen ESDM no. 52 tahun 2017, variable split akan makin besar jika pengembangan lapangan makin sulit, demikian juga sebaliknya. Saat pengembangan lapangan makin mudah, maka variable split akan makin kecil.

Progressive split pun akan berubah menyesuaikan terhadap besarnya produksi kumulatif dan harga jual produksi. Untuk produksi kumulatif, di saat jumlahnya masih kecil dan modal belum kembali, maka progressive split akan besar.

Seiring dengan bertambahnya produksi kumulatif, progressive split akan makin mengecil.

Sementara itu, untuk harga jual produksi (harga minyak dan harga gas), ketika harga makin kecil, progressive split akan besar. Makin tinggi harga jual, maka progressive split-nya akan semakin kecil.

“Skema gross split membantu mengelola risiko yang ada. Sementara itu, dengan cost recovery bagaimanapun performa wilayah kerja pembagiannya akan tetap sama,” terang Arcandra.

Jadi, pihak kontraktor tetap bisa mendapatkan bagi hasil yang dapat diukur sesuai dengan karakter atau tingkat kompleksitas lapangannya.

Tidak mempromosikan industri migas lokal

Skema gross split yang membebankan biaya produksi kepada kontraktor dinilai tidak mempromosikan industri migas lokal. Sebab, kontraktor akan lebih memilih menggunakan tenaga kerja serta teknologi asing.

Baca Juga: Arifin Panigoro: Ide gross split kan simplifikasi, tapi realisasi di lapangan unik

Padahal dalam skema ini kontraktor wajib menggunakan tenaga kerja warga negara Indonesia, pemanfaatan barang, jasa, teknologi serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri.

Kewajiban tersebut kemudian menjadi salah satu parameter variable split, yakni parameter komitmen tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Jika komitmen TKDN makin tinggi, variable split yang diperoleh juga makin tinggi.

Perhitungannya, jika komitmen TKDN mencapai angka 30-50%, akan mendapatkan 2% split. Komitmen TKDN sebanyak 50-70% akan mendapat 3%. Sementara itu, saat komitmen TKDN mencapai 70-100% akan mendapat 4% tambahan hasil.

Tidak ada yang mau beralih

Dengan semua konsepsi keliru yang beredar di masyarakat, skema gross split ini dinilai kurang menguntungkan bagi investor. Akibatnya, tidak ada investor yang bersedia beralih dari skema cost recovery menjadi gross split.

Baca Juga: Menteri ESDM Jonan: Pembelian mobil listrik melesat

Ternyata anggapan itu tidak benar. Sejak ditetapkan pada akhir 2017 lalu, sudah banyak wilayah kerja yang beralih menggunakan skema gross split. Menurut data terbaru dari Kementerian ESDM tahun 2019, sudah ada 40 wilayah kerja yang menggunakan skema tersebut.

“Di 2015 dan 2016 tidak ada yang tertarik untuk membeli blok migas cost recovery. Saya percaya, ketika suatu perusahaan membeli blok eksplorasi bukan hanya karena harga minyak dunia naik. Di akhir 2017 kami mengubah skema menjadi gross split, 5 wilayah kerja kami terjual,” terang Arcandra.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ""Gross split" Rugikan Investor Migas, Mitos atau Fakta…"
Penulis : Anissa Dea Widiarini
Editor : Kurniasih Budi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×