Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengusulkan penyesuaian harga pembelian gula di tingkat petani. APTRI berpandangan, bahwa penyesuaian harga pembelian di tingkat petani ini telah dipertimbangkan Biaya Pokok Produksi (BPP) gula dari sejumlah komponen yang mengalami kenaikan.
"Untuk HPP, APTRI mengusulkan Rp 15.000/kg," kata Sekretaris Jenderal APTRI Nur Khabsyin dalam keterangannya, Sabtu (13/5).
Selain itu, penyesuaian harga di tingkat petani pun perlu dilakukan karena adanya penurunan produksi tebu.
"Saat ini, terjadi penurunan produksi tebu di kebun, dimana rata-rata penurunannya sekitar 20 persen. Jadi, misalkan satu hektar bisa keluar 100 ton sekarang tinggal menjadi 80 ton tebu. Penyebabnya antara lain adalah perubahan iklim akibat El-Nino,” katanya.
Baca Juga: Kementan Dorong Program Penumbuhan Wirausaha Muda Pertanian Berorientasi pada Laba
Belum lagi, lanjut Nur Khabsin, adanya permasalahan di pemupukan yang dinilai membuat aktivitas tanam jadi terkendala sehingga membuat penurunan produksi menjadi semakin sulit dihindari.
"Produksi tebu terus menurun dikarenakan pemupukan yang tidak optimal, dimana pupuk semakin mahal dan langka. Sehingga, banyak petani yang memupuk tebu tidak tepat waktu. Selain itu, dosis pupuk ini tidak bisa maksimal," beber dia.
Ia mencontohkan, satu hektar kebun tebu idealnya membutuhkan rata-rata 1 ton hingga 1,3 ton pupuk. Namun, karena pupuk langka dan mahal, petani hanya bisa menyediakan 7 kuintal pupuk untuk 1 hektar. Harga pupuk non subsidi 4 kali lipat dari pupuk subsidi. Melihat kondisi-kondisi di atas, Ia menilai kenaikan HPP sangatlah wajar.
Keluhan soal pupuk juga disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional APTRI, Soemitro Samadikoen. Saat ini, aku Soemitro, petani tebu nyaris tidak menggunakan pupuk bersubsidi.
"Terlepas dari susah didapat, pemerintah juga sudah mengurangi porsi pupuk subsidi bagi petani tebu," tutur dia.
Selain HPP (Harga Pokok Penjualan) di tingkat petani, salah satu yang menjadi sorotan adalah HAP (Harga Acuan Pemerintah) gula di tingkat pengecer. Kembali, menurut Nur Khabsin, HAP (Harga Acuan Pemerintah) gula di tingkat eceran sebaiknya dihapuskan.
Baca Juga: Austindo Nusantara (ANJT) Lakukan Mitigasi Untuk Menghadapi El Nino
"HAP atau HET kami minta untuk dihapus, jadi nggak perlu lagi ada HAP atau HET dengan alasan gula petani ini bukan milik negara ya. Ini milik petani, jadi ini nggak perlu ada HAP atau HET biar harga itu sesuai dengan pasar. Sehingga petani bisa menikmati keuntungan dan tidak terbelenggu dengan HAP atau HET. Ini usulan kami," jelas dia.
Menurutnya, komoditas gula yang sebagian besar diproduksi oleh petani dan industri tak banyak mendapat dukungan pemerintah sehingga harga jualnya pun tak perlu diintervensi. Ini berbeda dengan komoditas lainnya, seperti BBM dan pupuk subsidi yang biaya produksinya didukung atau disubsidi oleh pemerintah.
"Karena sekarang ini yang full milik negara adalah BBM, ada HET itu wajar. Kemudian pupuk subsidi, ada HET itu wajar juga. Tetapi, pupuk non subsidi ini tidak ada HET, dimana harga bebas jadi itu melonjak tajam ya," beber dia.
Ia melanjutkan, saat pemerintah belum memberlakukan HET pada tahun 2015, harga gula di masyarakat cenderung stabil dan terjangkau. Justru, secara historikal, harga gula melonjak tinggi pada tahun 2016 saat pertama kali kebijakan HET gula diterapkan.
"Sebelum 2016 itu nggak ada HET atau HAP, harga gula tidak melonjak. Bahkan, harganya mendekati HPP. Artinya, kalau ada kehawatiran HET atau HAP dihapuskan, kemudian harga gula akan melonjak tinggi, itu berlebihan," beber dia.
Sementara itu, Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai dengan proses produksi yang minim dari sentuhan pemerintah, sudah sewajarnya harga gula dilepas ke harga pasar. Bila tidak, maka pihak petani akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Biaya produksi tinggi, akses terhadap pupuk subsidi dibatasi, namun harga jual hasil perkebunan maupun produk hilirnya dibatasi pemerintah.
"Karena HET (kini disebut Harga Acuan Pemerintah/HAP) itu mengikat publik. Mestinya, jika HET diberlakukan, sebaiknya hanya mengikat pemerintah dan operator yang ditugaskan untuk menjaga kestabilan harga, seperti Bulog atau ID Food," bebernya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News