Reporter: Noverius Laoli | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Kebijakan pemerintah terhadap ekspor kakao perlu dibenahi. Selama ini, ekspor kakao terbebani banyaknya pungutan pajak. Mulai dari pemberlakukan bea keluar (BK) 10%, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% dan Pajak Penghasilan (PPH) 0,5%.
Alhasil, ekspor kakao terus tertekan dan beban petani semakin berat karena harus menanggung semua pajak tersebut. Bila kebijakan ini terus berlanjut, maka pada 2016 ekspor kakao bisa merosot tajam menjadi tinggal 25.000 ton saja dari tahun ini yang diprediksi sampai 40.000 ton.
Volume ekspor ini terus menurun bila dibandingkan ekspor kakao pada 2014 yang mencapai 63.334 ton. Di sisi lain juga terjadi penurunan produksi kakao karena banyaknya alih fungsi lahan kakao di Indonesia.
Dari catatan Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), ekspor kakao sepanjang Januari-Oktober 2015 mencapai 33.783 ton. "Dengan banyaknya pajak yang diterapkan pemerintah, justru ekspor kakao Indonesia terus menurun," kata Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang, Selasa (22/12).
Zulhefi mendesak pemerintah menghapus BK dan PPN yang dikenakan pada ekspor kakao. Ia mengatakan, saat ini harga kakao Rp 27.000 per kilogram (kg), bila pajak di atas dihapus, maka ada potensi kenaikan harga kakao di tingkat petani sekitar Rp 2.000 - Rp 2.500 per kg.
Seharusnya, BK tidak perlu lagi dikenakan karena sudah banyak industri kakao yang dapat langsung mengolah biji kakao dalam negeri. Selain itu, Zulhefi juga mengeluhkan adanya kebijakan wajib fermentasi biji kakao tahun 2016 mendatang. Menurutnya, itu hanya menyusahkan petani saja.
Sebab dengan fermentasi biji kakao, petani membutuhkan waktu sektiar 5 hari dan buah kakao menyusut sekitar 4% yang membaut petani tidak mendapatkan keuntungan. Kalau pun pemerintah tetap bertahan memaksakan wajib fermentasi, Zulhefi meminta agar yang diawsi adalah indsutri yang membeli biji kakao non fermentasi dan bukan petani.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Kakao Fermentasi Indonesia, Syamsuddin Said membantah bila petani merugi kalau melakukan fermentasi biji kakao. Justru menurutnya, dengan fermentasi biji kakao petani bisa untung sekitar Rp 3.000 per kg lebih dan kualitas biji kakao Indonesia juga lebih baik.
Ia mendesak agar pemerintah tetap serius melarang penjualan biji kakao non fermentasi mulai Mei 2016 agar kualitas biji kakao Indonesia semakin kompetitif menghadapi perdagangan bebas alias Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Sementara itu, secara nasional, Askindo mencatat produksi kakao mencapai 320.000 ton dengan tingkat rata-rata produktivitas kakao mencapai 400 kg per hektare (ha).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News