Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengusaha tambang mengeluhkan izin analisa dampak lingkungan (amdal) yang terhambat. Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira mengatakan, dalam proses perizinan lingkungan pada sektor pertambangan memerlukan tata kelola dan mekanisme yang bisa terukur.
“Ini yang kami rasa tantangan yang selalu dihadapi. Oleh karenanya, diperlukan satu cara untuk penyusunannya. Pasalnya, izin pertambangan, lingkungan, dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) perlu waktu yang kadang bisa berlarut-larut,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (18/8).
Ia menyebut, diperlukan sistem antar kementerian lembaga dan pusat untuk menangani hal ini, di sisi lain juga perlu timeline atau tenggat waktu yang jelas.
Baca Juga: Indonesian Mining Association Keluhkan Pengurusan AMDAL yang Dinilai Makan Waktu
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), Rizal Kasli menjelaskan ide dan tujuan awal dari disahkannya Undang-undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang diikuti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan Perlindungan Lingkungan, salah satunya adalah untuk memudahkan dan membuka seluas mungkin kesempatan kerja dan usaha, melalui penyederhaan sejumlah regulasi dan perizinan di Indonesia, sehingga akan mempercepat proses perizinan berusaha.
“Namun faktanya, alih-alih mempermudah dan mempersingkat proses perizinan, justru sebaliknya, banyak kegiatan usaha di Indonesia saat ini mengalami hambatan karena implementasi dari aturan turunan UU Cipta Kerja,” jelasnya saat dihubungi terpisah.
Rizal mengakui, salah satu faktor penghambat tersebut, terkait mekanisme persetujuan kelayakan lingkungan amdal dan persetujuan lingkungan yang harus dimulai dengan persetujuan teknis, dan perubahan kewenangan amdal untuk mineral yang kini seluruhnya ditarik di pusat.
Mengacu PP 27/2012 tentang izin lingkungan, kewenangan pengesahan amdal dan izin lingkungan berada sesuai kewenanangannya yakni ke menteri, gubernur dan bupati sehingga ada penyebaran kewenangan yang cukup merata, namun ketentuan tersebut kini tidak berlaku. Kewenangan tersebut kini sepenuhnya menjadi kewenangan Kementerian KLHK.
Hal ini menyebabkan terjadinya penumpukan permohonan amdal di Kementerian KLHK. Informasi yang diperoleh Perhapi, jumlah antrean amdal telah mencapai sekitar belasan ribu permohonan.
“Hanya untuk memperoleh surat arahan dari Kementerian KLHK atas rencana kegiatan, perusahaan harus menunggu waktu cukup lama. Beberapa informasi dari sejumlah perusahaan, ada yang hingga 4 bulan namun belum memperoleh jawaban. Mereka harus datang ke KLHK untuk mempertanyakan jawabannya,” kata Rizal.
Selain itu, mekanisme penyatuan perizinan lingkungan menjadi persetujuan teknis ke dalam dokumen amdal juga menyebabkan proses penyusunan amdal menjadi lebih lama, lebih rumit dan biaya yang ditanggung pemrakarsa menjadi lebih mahal.
Baca Juga: Perhapi: Belasan Ribu Permohonan AMDAL Masih Antri di KLHK
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News