Sumber: Kompas.com | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) tengah menghadapi tantangan terutama dengan adanya kebijakan baru dan badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masih mengintai.
Produsen lokal Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) untuk kelompok besar dan sedang mencapai 5.000 lebih perusahaan. Hal itu masih ditambah dengan industri mikro dan kecil hampir 1 juta.
Dengan kenaikan harga produk lokal, industri TPT sangat sulit untuk diterima oleh masyarakat. Apalagi kondisi ekonomi nasional saat ini sedang lesu dengan daya beli masyarakat menurun.
Baca Juga: Perlindungan Industri Tekstil dan Garmen Mendesak di Tengah Sejumlah Tantangan
Direktur PT Anggana Kurnia Putra Wilky Kurniawan mengatakan, dengan teknologi yang semakin canggih, sekarang masyarakat dengan mudah dapat menjangkau melalui e-commerce, untuk memperoleh harga yang lebih murah dan kualitas yang lebih baik.
Padahal minat masyarakat dalam membeli produk lokal hasil industri TPT harus tetap dijaga agar kestabilan ekonomi nasional dapat tercapai.
Namun demikian, ketika harga terlampau tinggi, tentu akan menurunkan minat beli masyarakat yang mengakibatkan penjualan produk lokal akan semakin sulit dan mengalami penurunan.
Sebagai informasi saja, industri TPT menyerap tenaga kerja lebih dari 3 juta orang pada tahun 2024.
Menurut dia, biaya produksi yang tinggi dan daya beli masyarakat yang menurun menyebabkan tantangan Industri TPT nasional semakin berat. Sementara itu, biaya operasional Industri TPT tidak dapat dipangkas, khususnya untuk membayar upah pekerja.
Baca Juga: Menaker: Industri TPT Tumbuh Meskipun Ada Kasus PHK Menerjang
"Industri TPT nasional akan semakin terpuruk dan gugur satu per satu dengan dikenakannya Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) oleh pemerintah Indonesia. Terakhir, produk Benang Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY) akan dikenakan BMAD dengan tarif tertinggi sebesar 42,30 persen tentunya akan meningkatkan biaya produksi secara signifikan," ujar dia dalam keterangan resmi, Rabu (7/5/2025).
Ia menjelaskan, POY dan DTY merupakan bahan baku utama untuk pembuatan benang. Pengenaan BMAD tentunya akan membuat benang menjadi mahal.
Hal itu akan merembet dan turun lagi kepada pembuatan kain juga akan semakin mahal dan pada akhirnya produk pakaian jadi tentu menjadi mahal juga.
Putra menuturkan, dengan mahalnya bahan baku yakni benang tentunya akan berdampak kepada industri hilirnya.
Baca Juga: Duniatex Serap Ribuan Pekerja, CORE: Belum Jadi Bukti Pemulihan Industri Tekstil
Apalagi pada pakaian jadi dan barang jadi tidak ada pengenaan BMAD atau Safeguard, saat pelaku usaha merasa tidak dapat mempertahankan usahanya, maka pelaku usaha terpaksa melakukan penutupan usaha dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Industri TPT nasional akan semakin terpuruk dan gugur satu per satu. Terlebih lagi BMAD terhadap POY dan DTY hanya menguntungkan segelintir perusahaan” tutup dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Badai PHK di Industri Tekstil dan Produk Tekstil Masih Mengintai", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2025/05/07/130359326/badai-phk-di-industri-tekstil-dan-produk-tekstil-masih-mengintai?page=all#page2.
Selanjutnya: Samsung Rilis Galaxy Tab Active5 Tactical Edition, Tablet Tangguh untuk Militer
Menarik Dibaca: Amankah Konsumsi Kopi Pahit untuk Asam Lambung?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News