Reporter: Muhammad Julian | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi VII DPR RI bakal mengagendakan pembahasan rencana pelarangan ekspor konsentrat tembaga dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno berharap, pembahasan soal larangan ekspor konsentrat tembaga tersebut tersebut bisa dilakukan sebelum memasuki reses pada pertengahan Februari 2023 mendatang.
“Kami lagi mengatur kembali kapan waktu untuk bicara dengan Menteri ESDM, tapi selain Menteri ESDM tentu kami juga akan membahas (rencana larangan ekspor konsentrat tembaga) dengan Dirjen Minerba (Direktur Jenderal Mineral dan Batubara),” ungkap Eddy kepada Kontan.co.id, Rabu (11/1).
Seperti diketahui, pemerintah tengah berupaya memperkuat sektor hilir. Upaya ini sebelumnya telah melahirkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang berlaku sejak Januari 2020 lalu.
Menyusul, larangan ekspor bijih bauksit dan ekspor konsentrat tembaga juga direncanakan berlaku tahun ini. Presiden Joko Widodo (Jokowi) berujar, gugatan atas larangan ekspor bijih nikel yang dilayangkan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) tidak menyurutkan niatan pemerintah untuk mendorong hilirisasi dan industrialisasi komoditas mineral.
“Justru kita tambah stop bauksit. Nanti mungkin pertengahan tahun lagi akan kita stop lagi tembaga," ungkap Jokowi dalam Peringatan HUT PDIP ke-50 yang disiarkan virtual, Selasa (10/1).
Baca Juga: Jokowi Ungkap Rencana Stop Ekspor Tembaga pada Pertengahan Tahun Ini
Kesiapan industri pemurnian dan pengolahan konsentrat di dalam negeri sendiri menjadi sorotan dalam wacana kebijakan larangan ini.
Sedikit informasi, berdasarkan catatan Kontan.co.id, proyek pembangunan smelter berkapasitas 1,7 dry metric ton (dmt) PT Freeport Indonesia (PTFI) di Gresik diproyeksikan baru tuntas pada Desember 2023 mendatang, dilanjut dengan proses commissioning lalu pengoperasian komersial pada 2024.
Sementara itu, proyek smelter tembaga Amman Mineral yang berlokasi di Benete, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) diproyeksikan baru beroperasi di akhir 2024 mendatang. Nantinya, smelter tersebut bakal memiliki kapasitas input sebesar 900.000 ton per tahun.
Dengan demikian, saat ini baru ada 1 perusahaan yang mampu mengolah konsentrat tembaga di dalam negeri, yakni PT Smelting Gresik yang memiliki kapasitas input 1 juta ton per tahun dengan rencana pengembangan kapasitas input tambahan sebesar 300.000 ton per tahun.
Keterbatasan industri pemurnian dan pengolahan dalam wacana larangan ekspor konsentrat tembaga menjadi perhatian Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi). Ketua Umum Perhapi, Rizal Kasli menilai, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali wacana moratorium ekspor konsentrat tersebut.
“Dengan produksi (konsentrat tembaga) saat ini diperkirakan sebesar 4 juta ton per tahun dari Freeport Indonesia dan Amman Mineral, artinya ada 3 juta ton yang tidak terserap di pengolahan di dalam negeri tahun 2023. Ini angka yang cukup besar untuk dipertimbangkan,” tutur Rizal saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (11/1).
Sementara itu, pandangan yang berkembang di kalangan anggota Komisi VII DPR masih beragam dalam melihat wacana kebijakan larangan ekspor konsentrat tembaga.
Eddy menilai, pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi kahar akibat pandemi Covid-19 yang sempat menimpa proyek pengembangan smelter dengan tetap mengevaluasi kepatuhan perusahaan.
Sebab, menurut Eddy, kebijakan larangan ekspor konsentrat tanpa pertimbangan juga bisa menimbulkan ‘mudharat’.
“Pertama, perusahaan-perusahaan itu pasti akan menghentikan produksi, karena mau mau ditaruh di mana produksinya. Kedua, itu ya nanti akan berdampak kepada PHK, lapangan kerja akan hilang, dan lain-lain,” terang dia.
Oleh karenanya, pemerintah, menurut Eddy, perlu mengevaluasi kondisi dan kepatuhan perusahaan secara seksama.
Dalam hal perusahaan yang dievaluasi terbukti masih sungguh-sungguh melakukan pengembangan smelter sesuai jadwal perencanaan proyek yang telah disesuaikan dengan kondisi pandemi, maka pemerintah bisa menimbang untuk memberi toleransi kepada perusahaan tersebut.
Komisi VII, kata Eddy, tetap akan mengawasi evaluasi tersebut secara seksama.
“Tapi kalau ternyata mereka bilang ini ada permasalahan lagi nih, land clearing enggak beres atau mesinnya katanya terlambat, itu enggak boleh lagi dikasih toleransi, saya kira toleransi sudah diberikan. Kalau enggak, wibawa negara di mana kasih toleransi terus menerus,” imbuh Eddy.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto menilai, pemerintah harus konsisten dengan rencana pelarangan ekspor konsentrat. Menurutnya, ‘woro-woro’ dari pemerintah kepada pelaku usaha untuk membangun smelter tembaga sudah dilakukan sejak lama.
Demikian pula halnya dengan proyek smelter PTFI. Mulyanto menilai, pemerintah sudah memberikan waktu yang cukup bagi PTFI untuk menyelesaikan proyek smelter tembaganya.
“Meski PTFI sebagian besar sahamnya kini milik Pemerintah, namun komitmen hilirisasi ini tidak boleh bergeser,” tutur Mulyanto saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (11/1).
Baca Juga: Hilirisasi Industri, Jokowi: Kita Tidak Boleh Mundur, Tidak Boleh Takut
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News