Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan kenaikan harga minyak dunia saat ini akan berdampak pada beban operasional hulu migas. Namun hal tersebut bisa dikompensasi dari kenaikan pendapatan dari produksi minyak.
Deputi Eksploitasi SKK Migas, Wahju Wibowo menilai, kenaikan harga minyak tentunya bisa menjadi momentum untuk setiap Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam merencanakan dan melaksanakan upaya kegiatan menaikkan produksi.
“Hal ini terlihat dari kenaikan investasi hulu migas secara umum di beberapa tahun terakhir di mana memang harga minyak berada dalam bilangan yang tinggi,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Rabu (11/10).
Meski kenaikan harga minyak dunia tersengat gejolak geopolitik global, Wahju menilai, kondisi tersebut tidak membuat pendanaan ke hulu migas menjadi sulit. Hanya saja, memang selalu ada tantangan untuk menarik investasi ke Indonesia. Oleh karena itu, lanjutnya, industri hulu migas Indonesia harus selalu menarik (attractive) untuk investor.
Baca Juga: Pengusaha Migas Memilih Konservatif di Tengah Memanasnya Gejolak Geopolitik Dunia
Di tengah menguatnya harga minyak dunia, secara umum, akan berdampak pada kenaikan beban operasional KKKS karena harga-harga bergerak naik. Namun menurutnya persoalan itu tidak masalah karena kenaikan pendapatan dari produksi minyak dapat mengkompensasi naiknya beban operasional tersebut.
“Sampai saat ini ketersediaan rig dan sumber daya manusia (SDM) masih menjadi kendala untuk mengeksekusi semua rencana kerja pemboran yang ada seperti dalam WP&B,” jelasnya.
Ketua Komite Investasi Aspermigas, Moshe Rizal menjelaskan, harga minyak dunia dalam beberapa waktu ke depan akan terdongkrak kebutuhan energi yang lebih besar memasuki musim dingin di beberapa negara seperti Eropa dan Amerika.
Ditambah pula kondisi gejolak geopolitik dunia, yakni perang Israel-Palestina yang didukung beberapa negara lain, turut berperan pada fluktuasi harga minyak dunia.
“Di sini saya melihat gejolak geopolitik dapat menaikkan harga minyak karena orang takut kalau terjadi masalah supply minyak. Maka itu, banyak orang akan menyetok bahan bakar atau energi. Jadi dua hal ini yang menyebabkan harga agak naik,” jelasnya dihubungi terpisah.
Baca Juga: Kementerian ESDM: Ada 2 Skema Monetisasi Proyek Penyimpanan Karbon (CCS)
Meski ada sejumlah katalis yang mendorong harga minyak, Moshe melihat kondisi ini hanya bersifat sementara. Dia menggambarkan, dua minggu lalu harga minyak dunia baru saja menembus US$ 90 per barel, tetapi sekarang sudah turun lagi.
Secara umum, dia tidak menampik kenaikan harga minyak dunia dapat dinikmati pelaku usaha. Namun, lantaran fluktuasi harganya tidak bisa ditebak, pengusaha lebih memilih di posisi konservatif yang artinya tidak muluk-muluk ekspansi menaikkan kapasitas produksinya.
“Menambah produksi butuh investasi sedangkan kami menganggap kenaikan harga minyak ini suatu fenomena yang sifatnya tidak jangka panjang. Apalagi gejolak geopolitik sekarang lagi panas-panasnya sehingga orang akan berhati-hati untuk investasi,” terangnya.
Di sisi lain, lanjut Moshe, pengadaan rig masih menantang karena permintaannya tinggi tetapi pasokannya terbatas. Kelangkaan rig ini terjadi di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia.
Perusahaan penyedia jasa sewa pengeboran juga berhati-hati berinvestasi menambah jumlah rignya.
“Jangan sampai mereka berinvestasi besar menambah rig, tetapi tiba-tiba harga minyak tiba-tiba anjlok karena faktor geopolitik dan berakhir rugi karena rig-nya terbengkalai,” kata Moshe.
Sedangkan, untuk urusan operasional seperti penggunaan bahan bakar minyak (BBM), diakui Moshe tidak berpengaruh signifikan ke beban operasional. Lantaran kenaikan harga BBM yang dilakukan Pertamina masih cukup terjangkau.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News