kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Begini tanggapan pengamat soal nasib larangan ekspor biji nikel


Rabu, 06 November 2019 / 23:07 WIB
Begini tanggapan pengamat soal nasib larangan ekspor biji nikel
ILUSTRASI. Kendaraan truk melakukan aktivitas pengangkutan ore nikel ke kapal tongkang di salah satu perusahaan pertambangan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Rabu (6/11/2019). Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM telah memutuskan mel


Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Kordinator Kemaritiman dan Investasi merencanakan pertemuan lanjutan pada Kamis (7/11) guna membahas kelanjutan pelarangan ekspor biji nikel yang dipercepat pada 28 Oktober 2019 lalu.

Direktur Center for Indonesian Resources Strategic (CIRUS) Budi Santoso menilai pemerintah tidak bisa seenaknya dalam membuat regulasi. Inkonsistensi pemerintah dalam sektor pertambangan, menurutnya merugikan pelaku usaha sebab dalam sektor ini pengembalian modal terjadi dalam jangka waktu panjang.

"Perusahaan yang berinvestasi hingga 2021 jelas mengalami kerugian, terlebih investasi (yang dikucurkan) untuk penambangan dan fasilitas," terang Budi kepada Kontan.co.id, Rabu (6/11).

Baca Juga: Kementerian ESDM: Nasib ekspor bijih nikel ditentukan besok, Kamis (7/11)

Masih menurut Budi, bukan tidak mungkin terjadi monopoli. Hal ini dikarenakan perusahaan yang tidak bisa melakukan ekspor mau tidak mau merelakan hasil produksi ditampung oleh perusahaan yang telah memiliki fasilitas pemurnian nikel atau smelter.

Jika pemerintah tetap meneruskan larangan ekspor, Budi menjelaskan, keuntungan akan menjadi milik perusahaan pemilik smelter yang dapat menyerap bijih nikel dengan harga di bawah US$ 20 per ton atau jauh di bawah harga pasar sebesar US$ 33 per ton.

Selain itu, langkah ini dinilai membuat citra pemerintah buruk dimata pelaku usaha dan para investor. Dampak lain yang mungkin dirasakan yaitu penurunan pendapatan devisa dari aktivitas ekspor.

Baca Juga: Beda pendapat Kementerian ESDM dan APNI soal pembangunan smelter

Lebih jauh Budi menjelaskan, jika pemerintah mencabut percepatan larangan ekspor maka pembangunan smelter dapat berlangsung kembali. Kendati demikian, menurutnya diperlukan perhatian pemerintah dalam mempersiapkan industri hilirisasi guna menyerap produksi nikel yang ada.

"Perlu memperhatikan kesulitan pengusaha nasional dalam membangun smelter mengenai perizinan, finansial dan aspek teknologi," tutur Budi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×