Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri telekomunikasi dapat menjadi faktor enabler menciptakan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Apalagi digitalisasi semakin marak. Di sinilah peran industri telekomunimasi.
Poppy Sulistyaning Winanti, Guru Besar Bidang Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai saat ini industri telekomunikasi memegang peran yang sangat strategis bagi perekonomian suatu negara. Saat ini perkembangan ekonomi disumbang oleh aktivitas ekonomi digital.
"Sumbangan industri telekomunikasi bagi pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia sangat besar. Di kawasan ASEAN pertumbuhan ekonomi digital Indonesia merupakan tertinggi. Sehingga pemerintah perlu menjaga pertumbuhan dan keberlangsungan industri telekomunikasi nasional,” terang Poppy, Senin (30/10).
Namun pertumbuhan dan keberlangsungan industri telekomunikasi menghadapi tantangan sangat besar. Salah satunya beban regulatory cost. Jika pemerintah tak bisa membuat regulasi yang dapat memperkecil regulatory cost, “Indonesia masih belum mampu untuk naik kelas. Kendalanya disebabkan literasi digital, kesenjangan digital di masyarakat, infrastruktur telekomunikasi, kompleksitas regulasi dan regulatory cost yang tinggi.. Ketika pemerintah tak menyelesaikan PR ini, Indonesia bisa turun peringkat menjadi watch out,” terang Poppy.
Poppy menilai salah satu yang membuat kualitas internet di Indonesia rendah juga akibat regulatory cost operator telekomunikasi yang sangat tinggi. Ini bisa melemahkan daya saing industri telekomunikasi nasional dan daya saing perekonomian Indonesia.
Baca Juga: Pemerintah ajak operator seluler segera selenggarakan jaringan 5G
Berdasarkan data empat operator besar, yakni Telkomsel, Indosat, XL Axiata dan Smartfren, kenaikan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi setiap tahun dari 2013-2022 sebesar 12,1% terhadap gross revenue setelah dihitung secara proporsional.
Sedangkan komposisi beban BHP frekuensi terhadap pendapatan seluler cenderung meningkat setiap tahun, dari sebesar 6,71% pada tahun 2013 menjadi sebesar 11,4% pada tahun 2022. Rata-rata meningkat sebesar 6,07%. Kenaikan ini disebabkan formula perhitungan BHP frekuensi yang dilakukan Kominfo selalu menggunakan acuan angka inflasi.
Berdasarkan benchmark Coleago Consulting, komposisi biaya BHP frekuensi terhadap pendapatan yang akan menjadikan industri tumbuh berkelanjutan adalah berada di bawah 5%. Sedangkan komposisi sekitar 5%-10% masih dapat mendorong keberlanjutan industri. Namun jika komposisi regulatory cost tersebut di atas 10% dianggap tidak mendukung keberlanjutan industri.
Agar regulatory cost semakin rendah, Poppy menyarankan pemerintah dapat memberikan insentif, seperti keringanan BHP frekuensi. Pemerintah juga bisa memberikan insentif berupa kemudahan perizinan lain seperti mendirikan tower, kemudahan penggelaran fiber optik dan berbagai kemudahan lain. India jadi salahsatu negara yang memberikan insentif bagi industri telekomunikasi.
Pemerintah Indonesia bisa meniru negara lain yang sudah memberikan insentif BHP frekuensi sebesar 0% selama kurun waktu 3 tahun untuk perusahaan telekomunikasi yang mengembangkan teknologi baru seperti 5G. Teknologi 5G selain harus membuat ekosistem, sektor yang bisa menerapkan teknologi telekomunikasi teranyar ini masih sangat terbatas. " Diharapkan dengan insentif BHP frekuensi dari pemerintah, dapat meningkatkan kualitas internet di Indonesia dan berpotensi mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Poppy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News