Reporter: Lidya Yuniartha, Noverius Laoli | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasca Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menolak putusan anti-dumping Uni Eropa terhadap produk biodiesel Indonesia, ekspor bahan bakar ini dari negara kita mulai masuk ke benua biru. Ekspor perdana biodisel kita mulai Mei 2018 lalu.
Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), menyatakan, volume ekspor biodiesel Mei lalu masih kecil. Cuma, ia belum mendapatkan data ekspor tersebut. Yang jelas, "Sudah ada beberapa perusahaan yang mengekspor biodisel pada Mei lalu," ujarnya akhir pekan lalu.
Menurut Paulus, ekspor biodisel itu merupakan yang pertama di tahun ini. Sebab, sepanjang kuartal I 2018, ekspor biodiesel ke Uni Eropa masih nol. "Karena kita baru ekspor, kira-kira ekspor biodiesel ke Uni Eropa paling banyak 500.000 kiloliter (kl) di 2018," kata dia.
Tentu, perkiraan itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan ekspor biodiesel ke Uni Eropa pada 2014 yang mencapai 1,8 juta kl. Paulus mengatakan, ekspor tahun ini masih kecil lantaran tantangan utama bagi Indonesia saat ini adalah menjalin koneksi kembali dengan Uni Eropa yang sempat terputus.
Sebab setahun terakhir, Indonesia tidak lagi mengekspor biodiesel ke Uni Eropa karena tudingan dumping. Uni Eropa menerapkan bea masuk anti-dumping yang mereka terapkan sejak 2013 hingga 2016. Alhasil, ekspor biodiesel kita turun drastis, 42,84%.
Padahal di 2013, nilai ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa mencapai US$ 649 juta. Angka ini merosot menjadi US$ 150 juta pada 2016. Sedangkan di 2017, ekspor biodisel negeri ini nihil.
Selama setahun ekspor terhenti, Uni Eropa melakukan substitusi biodiesel berbasis minyak kelapa sawit dengan minyak nabati lain dari kedelai. Walhasil, Paulus bilang, upaya merangsek ke pasar Eropa lagi tidak akan mudah bagi Indonesia, meski biodisel minyak sawit jauh lebih murah ketimbang kedelai.
Masih ada hambatan
Walau sudah mulai ekspor ke Uni Eropa, bukan berarti biodiesel Indonesia berhenti menghadapi masalah. Saat ini, Parlemen Uni Eropa tengah mengusulkan, penghentian penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel pada 2021 mendatang.
Untuk memutuskan itu, Parlemen Uni Eropa akan menggelar trialog dengan Dewan dan Komite Uni Eropa. Oleh karena itu, menurut Paulus, saat ini Indonesia terus berupaya melakukan negosiasi dengan Uni Eropa.
Selain Uni Eropa, Paulus membeberkan, Indonesia tidak memiliki pasar ekspor biodiesel yang besar ke kawasan lain di dunia. Kalaupun ada, angka ekspornya sangat kecil. Apalagi, ekspor ke Amerika Serikat dihentikan lantaran pengenaan bea masuk antidumping yang besar.
Meski pasar ekspor masih kecil, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) terus mendukung peningkatkan produksi biodiesel dalam negeri. Edi Wibowo, Direktur Penyaluran Dana BPDPKS, mengatakan, lembaganya telah menyalurkan dana insentif biodiesel sebesar Rp 3,24 triliun hingga April lalu dari total Rp 9,8 triilun untuk tahun ini.
Dana insentif itu untuk penjualan biodiesel sebesar 970.000 kl atau setara 30,1% dari target 3,22 juta kl. "Kami optimistis, dana yang dianggarkan untuk insentif biodiesel masih akan cukup sampai akhir tahun," ujar Edi.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menegaskan, pemerintah tetap memperjuangkan ekspor biodiesel ke Uni Eropa terus berlanjut, meskipun masih banyak tantangan yang muncul. "Tapi, kami juga membuka pasar baru untuk ekspor biodiesel, seperti ke Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tengah," imbuh dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News