Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Pengusaha angkutan logistik harus bersiap diri menghadapi perubahan pengelolaan jembatan timbang. Sebentar lagi Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemhub) akan mengambil alih pengelolaan jembatan timbang yang selama ini dikelola pemerintah provinsi.
Nanti, kendaraan yang kelebihan muatan tidak lagi didenda tapi langsung diminta untuk membongkar kelebihan barang bawaan. "Sekarang ini, fungsi kami sebagai pengawas. Sebelumnya, denda muatan berlebih sampai 100% cukup bayar dan bisa melanjutkan perjalanan," tutur Yuyun E. Wahyu Ningrum, Direktur Prasarana Perhubungan Darat, Kemhub, kepada KONTAN, Kamis (1/9).
Saat ini, pemerintah tengah berupaya menghapus praktik pembayaran ketika terjadi kelebihan muatan kendaraan. Supaya lancar, di setiap lokasi jembatan timbang bakal ada fasilitas gudang. Fungsi gudang ini, tersebut untuk bisa menampung kelebihan bongkar muatan dari truk.
Kemhub saat ini masih menunggu proses serah terima 142 jembatan timbang dari pemerintah provinsi ke pemerintah pusat. Batas waktu penyerahan hingga 1 Oktober 2016 nanti.
Setelah proses penyerahan, pemerintah bakal memberikan pendidikan teknis bagi pelaksana jembatan timbang di lapangan. Menurut Yuyun, bila proses ini berjalan, maka fungsi pengawasan yang dijalankannya bisa bergulir.
Nah, bisa jadi jumlah jembatan timbang bakal berkurang. Soalnya selama pengelolaan diserahkan kepada pemerintah daerah justru bertambah. Maklum, keberadaan jembatan timbang bisa menjadi ladang penerimaan bagi pemerintah daerah.
Kemauan pebisnis
Pada Peraturan Menteri Perhubungan No 134/2015 tentang Penyelenggaraan Penimbangan Kendaraan Bermotor di Jalan, pasal 26 ayat 2 menyebut bahwa pelanggaran muatan melebihi 5%-20% dari daya angkut kendaraan yang ditetapkan akan diberikan surat tilang. Sedangkan jika pelanggaran muatan lebih dari 20% maka selain surat tilang, pengemudi juga dilarang untuk melanjutkan perjalanan.
Menanggapi aturan baru ini, Sugi Purnoto, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) malah mengaku serba salah. Soalnya yang meminta angkutan melebihi dari kapasitas moda transportasi justru berasal dari konsumen atau pemilik barang sendiri.
Ia mencontohkan truk wing box dengan jumlah berat yang diizinkan (JBI) 10,5 ton, tetapi dipaksa mengangkut sampai 20 ton. "Kami berharap kebijakan ini juga disosialisasikan dengan pengusaha seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), pemilik barang, dan pengusaha ritel karena mereka mitra kami," katanya, Kamis (1/9).
Sejatinya, aturan tersebut lebih menguntungkan perusahaan logistik. Biaya perawatan kendaraan akan jauh lebih murah dari biasanya. Kalau selama ini dengan beban yang lebih ban bisa diganti dalam selang waktu 6 bulan, tetapi jika diterapkan usia ban bisa mencapai 10 bulan.
Nah, biasanya pebisnis yang kerap meminta angkutan berlebih adalah yang kerap mengangkut kebutuhan pokok seperti kedelai, beras, minyak goreng dan gula. Misalnya, berat truk kosong sekitar 11,5 ton, tapi kelebihan muatannya bisa mencapai 30 ton.
Bila aturan ini diterapkan, pasti butuh jumlah armada yang lebih banyak dari biasanya. "Secara otomatis bisa menaikkan harga barang karena biaya transportasi naik," tandasnya.
Kyatmaja Lookman, Managing Director Lookman Djaja Logistik mengaku tidak terpengaruh terhadap perubahan aturan tersebut. Sebab, barang yang dikirim kebanyakan produk akhir siap jual yang jarang kelebihan muatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News