Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
Jika industri baterai ini terbangun ditambah dengan pasar otomotif domestik yang terbesar di kawasan ASEAN, Agus menyatakan bahwa Indonesia berpotensi memegang ekosistem industri EV terbesar. Meliputi industri baterai dari hulu sampai hilir, infrastruktur pengisian (charging), sampai dengan daur ulang.
Agus melanjutkan, BUMN pun memiliki tiga ambisi dalam ekosistem industri baterai pada tahun 2025. Pertama, menjadi pemain global material hulu baterai, yakni menjadi produsen nikel sulfat global dengan produksi tahunan sekitar 50.000 - 100.000 ton, untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri dan ekspor.
Kedua, menjadi pemain global dalam material antara atau katoda baterai. Yaitu dengan menjadi produsen prekursor dan katoda dengan output target produksi tahunan mencapai 120.000-240.000 ton. Ketiga, menjadi pemain hilir regional untuk sel baterai dan pusat manufaktur kendaraan listrik di Asia Tenggara.
Baca Juga: API menilai holding BUMN panas bumi bukan mustahil bakal terwujud
Untuk mewujudkan ambisi tersebut, Agus mengatakan bahwa pihaknya sedang melakukan penjajakan dengan calon mitra selaku investor. Dalam menjaring calon mitra, ada sejumlah kriteria yang dipertimbangkan BUMN.
Pertama, memiliki jejak global di dalam industri baterai EV dan memiliki rencana untuk melakukan ekspansi bisnis. Kedua, memiliki kekuatan finansial dan investasi di bidang baterai. Ketiga, memiliki reputasi merk yang baik dan memiliki hubungan dengan perusahaan Original Equipment Manufacturer (OEM).
Dari proses penjajakan calon mitra untuk gelombang satu, terdapat 7 grup perusahaan yang telah memenuhi kriteria. Antara lain CATL, LG Chem, Tesla, Samsung, dan Panasonic.
Terkait dengan roadmap pengembangan EV, Agus menjelaskan bahwa pada tahun 2021 direncanakan sudah mulai pembangunan charging station atau SPKLU dan SPBKLU. Saat ini PLN sudah memiliki 32 titik SPKLU yang tersebar di 22 lokasi, serta pilot project 33 SPBKLU.
Pada tahun 2022, OEM ditargetkan sudah mulai memproduksi EV di Indonesia. Lalu pada tahun 2024 direncanakan pabrik refining HPAL mulai beroperasi bersama dengan pabrik precursor dan katoda. Kemudian pada tahun 2025 pabrik cell to pack battery ditargetkan mulai beroperasi.
Baca Juga: SKK Migas berupaya menahan laju penurunan produksi tahun ini
Agus mengatakan, pengembangan industri baterai EV memang masih menantang. Sebab, teknologi baterai yang dipakai masih tergantung pada pemain global baterai dan OEM sebagai offtaker. "Sementara Indonesia belum memiliki pengalaman memadai dalam membangun industri baterai listrik," ungkap Agus.
Dia melanjutkan, saat ini Kementerian BUMN bersama Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) sedang berkomunikasi dengan kementerian dan lembaga lainnya seperti Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan untuk bisa mendorong iklim investasi yang menarik.
"Agar pemain-pemain dunia di sektor EV dan baterai EV mau datang dan nyaman berinvestasi di Indonesia," pungkas Agus.
Selanjutnya: Arifin Tasrif rombak susunan direktur di Kementerian ESDM
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News