Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan
SURABAYA - Keputusan PT XL Axiata Tbk untuk mengakuisisi Axis dinilai sejumlah pengamat dan praktisi telekomunikasi sebagai langkah yang sangat tepat. Pasalnya, dengan jumlah pelanggan yang terus meningkat dan penggunaan frekuensi yang sangat maksimal, akuisisi tersebut akan memberikan ruang lebih baik bagi XL untuk memberikan pelayanan lebih baik kepada konsumen.
Pengamat dan praktisi telekomunikasi Heru Sutadi mengatakan, langkah XL mengakuisisi Axis merupakan sesuatu yang harus terjadi bagi terciptanya konsolidasi di industri telekomunikasi Indonesia.
"Konsolidasi antar operator itu sudah menjadi kebutuhan. Akuisisi XL terhadap Axis akan bisa memperkuat infrastruktur mereka, terutama spektrum frekuensi yang sudah masuk zona merah atau sangat kritis," kata Heru, belum lama ini.
Dia menjelaskan dari lima operator besar, misalnya, Telkomsel, Indosat, XL, Hutchison 3 Indonesia (Tri), dan Axis, XL menjadi operator yang sudah masuk zona merah alias kekurangan frekuensi, bila dilihat dari kebutuhan bandwidth, pembagian dari jumlah subscriber, market share, efisiensi spektrum, dan parameter lainnya.
Pada layanan 2G di frekuensi 900 MHz dan 1800 MHz, XL hanya memiliki 15 MHz. Sementara Indosat dan Telkomsel 30 MHz, Axis 15 MHz, dan Tri 10 MHz. Dengan spektrum 2G hanya 15 MHz, jumlah traffic suara rata-rata XL, menurut informasi tahunan publik perusahaan, saat ini tertinggi dari semua operator, dengan mencapai 7,1 miliar menit per MHz.
Bandingkan dengan Indosat, dengan spektrum 30 MHz, rata-rata trafik suara hanya sekitar 2 miliar menit per MHz. Adapun Telkomsel, dengan spektrum 30 MHz, memiliki 4,8 miliar menit per MHz.
Heru menjelaskan di spektrum 2G, XL akan memiliki jumlah spektrum yang sama dengan Telkomsel dan Indosat bila berkonsolidasi dengan Axis. Pasca konsolidasi, Telkomsel, Indosat, dan XL, akan memiliki 22,5 MHz di frekuensi 2G.
Dengan kapasitas penggunaan alokasi frekuensi yang sudah mencapai 7,1 miliar menit per MHz, maka kualitas layanan yang diberikan XL, yang selama ini dikeluhkan sebagian konsumen, akan jauh lebih jernih dengan kualitas yang lebih baik.
Secara umum kepemilikan frekuensi menjadi rata, sementara pasar masih tetap dikuasai Telkomsel dengan 122 juta, diikuti XL + Axis dengan 68 juta, Indosat 56 juta, dan Tri 18 juta pelanggan.
Direktur Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kanaka Hidayat mengatakan soal alokasi pengembalian frekuensi pasca merger operator sebetulnya sepenuhnya ada di tangan Menteri Komunikasi dan Informatika.
Dengan pertimbangan tertentu, Menteri bisa memberi persetujuan bahwa alokasi frekuensi tidak perlu dikembalikan kepada negara. Hal ini merujuk pada Pasal 25 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
Hal ini pernah terjadi pada aksi merger dan akuisisi pada operator-operator sebelumnya, misalnya di 2003, PT Indosat melakukan merger dengan Satelindo. Hal serupa juga terjadi saat mergernya Smart dan Fren pada Maret 2010.
"Pada saat itu, spektrum frekuensi yang dimiliki masing-masing operator, atas permintaan operator dan persetujuan Menteri, tetap berada di tangan mereka, tuturnya.
Dia menambahkan dalam kasus Indosat Satelindo dan Smart Fren, tetapnya spektrum frekuensi yang dimiliki di tangan operator ini, atas pertimbangan lantaran disebabkan masing-masing operator telah menjalankan bisnis sesuai regulasi, termasuk menggelontorkan investasi infrastruktur untuk melayani konsumen secara maksimal.
"Bila operator lain yang akan melakukan konsolidasi melakukan hal yang sama, maka benchmark Indosat-Satelindo dan Smart-Fren bisa juga berlaku pada operator-operator lain," kata Kanaka.
Namun bila belum membangun infrastruktur dan layanan lalu menjual spektrum frekuensi, seperti pada kasus PT Cyber Access Communications (CAC) dan PT Lippo Telecom di tahun 2005, pemerintah berhak mengambil kembali alokasi frekuensi. (Tribunnews.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News