Reporter: Leni Wandira | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID- JAKARTA. Fenomena anomali iklim yang dapat disebut El Nino di Indonesia diperkirakan akan berakhir dan berganti menjadi anomali cuaca lainnya yakni La Nina.
Peneliti Meteorologi di Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Deni Septiadi menjelaskan fenomena La Nina di pasifik bagian Tengah yang diindikasikan dengan pergeseran “kolam air hangat” pada Nino 3.4 ke arah barat pasifik mendekati bagian timur Indonesia, secara tidak langsung akan meningkatkan konvektivitas di benua maritim Indonesia (BMI).
Baca Juga: Fenomena La Nina Dikhawatirkan Gerus Harga Gabah
Pada prinsipnya, kata dia, La Nina memperparah musim hujan yang terjadi saat puncak musim hujan pada Desember, Januari, Februari (DJF) atau dimulai dari peralihan musim kemarau menuju musim hujan pada September, Oktober, Nopember (SON) serta perlaihan musim hujan ke musim kemarau pada Maret, April, Mei (MAM).
Dengan musim hujan yang parah itu akhirnya mempengaruhi produksi dan distribusi pangan secara signifikan. Pasalnya, La nina cenderung menyebabkan peningkatan curah hujan yang ekstrem dan pola cuaca yang tidak stabil, yang dapat mengganggu musim tanam dan panen
"Pengaruh La Nina terhadap produksi dan distribusi pangan bisa sangat signifikan. La Nina cenderung menyebabkan peningkatan curah hujan yang ekstrem dan pola cuaca yang tidak stabil, yang dapat mengganggu musim tanam dan panen," kata Deni kepada Kontan.co.id, Rabu (27/3).
Baca Juga: La Nina Dipastikan Bakal Berdampak Pada Produktivitas Industri Sawit
Kemudian, banjir dan tanah longsor yang sering terjadi akibat hujan yang berlimpah bisa merusak tanaman dan infrastruktur pertanian, seperti irigasi dan jaringan transportasi.
"Akibatnya, produktivitas pertanian dapat menurun, mempengaruhi pasokan pangan dalam negeri. Selain itu, ketidakstabilan pasokan dapat menyebabkan kenaikan harga pangan, yang pada gilirannya memengaruhi akses masyarakat terhadap pangan yang memadai," ungkapnya.
Oleh karena itu, penting untuk mengantisipasi dan mengelola dampak La Nina dengan strategi mitigasi yang efektif untuk menjaga ketahanan pangan.
Deni bilang, pengaruh La Nina terhadap produksi kelapa sawit juga bisa signifikan. Curah hujan yang tinggi dan pola cuaca yang tidak stabil dapat memengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman kelapa sawit.
Baca Juga: Ada La-Nina, SPI Sebut Petani Jagung hingga Buah-Buahan Rawan Merugi
"Kondisi tanah yang lembap dan kelembapan udara yang tinggi juga dapat meningkatkan risiko serangan hama dan penyakit, yang dapat mengganggu kesehatan tanaman dan mengurangi produksi minyak kelapa sawit," sambungnya.
Lebih lanjut, Deni pun menggambarkan peta efek atau dampak La Nina dapat bervariasi tergantung pada lokasi geografis dan karakteristik lingkungan setempat.
Kata dia, di Indonesia dampaknya tadi sudah disebutkan di atas, yang paling parah yaitu memicu banjir, longsor, curah hujan ekstrem, angin kencang dan tentunya menghasilkan efek berantai terhadap produksi, dan distribusi pangan nasional.
"Secara global La nina akan berdampak pada peningkatan frekuensi badai tropis dan perubahan suhu muka laut yang signifikan," pungkasnya.
Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan El Nino akan segera menuju masa normalnya. Namun, fenomena itu akan digantikan dengan fenomena La Nina.
Baca Juga: Bapanas Siapkan Langkah Antisipasi Hadapi Anomali Cuaca La Nina
La Nina diperkirakan akan muncul mulai Juli 2024. Nantinya akan melemah setelah triwulan ketiga pada Juli hingga September mendatang.
"El Nino diprediksi akan segera menuju netral pada periode Mei, Juni, Juli 2024," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers virtual.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News