kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.198.000   7.000   0,32%
  • USD/IDR 16.704   -32,00   -0,19%
  • IDX 8.123   23,91   0,30%
  • KOMPAS100 1.123   -0,15   -0,01%
  • LQ45 802   -0,17   -0,02%
  • ISSI 282   -0,15   -0,05%
  • IDX30 421   -0,29   -0,07%
  • IDXHIDIV20 479   -0,99   -0,21%
  • IDX80 124   0,62   0,50%
  • IDXV30 134   -0,24   -0,18%
  • IDXQ30 132   -0,41   -0,31%

Demi substitusi LPG, Kementerian ESDM dorong pengembangan industri DME


Rabu, 22 Juli 2020 / 14:32 WIB
Demi substitusi LPG, Kementerian ESDM dorong pengembangan industri DME
ILUSTRASI. Subsidi Energi 2021: Pekerja melakukan pengisian tabung gas elpiji di SPBE di Depok, Jawa Barat, Senin (6/7/2020). Pemerintah akan mengubah skema subsidi LPG dan listrik mulai tahun depan. Rencananya, subsidi LPG dan listrik akan diberikan langsung ke pen


Reporter: Dimas Andi | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong berkembangnya industri Demethyl Ether (DME) sebagai bagian dari hilirisasi batubara sekaligus substitusi bahan bakar Liquefied Petroleum Gas (LPG).

Kepala Badan Litbang Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyampaikan, sebenarnya DME dapat dihasilkan dari berbagai sumber energi. Bila dilihat dari kondisi sekarang, batubara kalori rendah menjadi sumber energi paling ideal untuk pengembangan DME.

Ini mengingat sumber daya dan cadangan batubara kalori rendah di Indonesia cukup melimpah, yakni sekitar 20 miliar ton. Menurut Dadan, untuk mengganti impor LPG sebanyak 1 juta ton, maka dibutuhkan DME sebanyak 500.000 ton. Lantas, untuk memasok DME sebanyak itu, maka perlu pasokan batubara sebesar 6 juta ton per tahun.

Baca Juga: Kementerian ESDM gencar uji terap penggunaan DME di sektor rumah tangga, ini hasilnya

Selain jumlahnya banyak, penggunaan batubara kalori rendah sebagai bahan baku DME dilakukan agar komoditas ini lebih jelas peruntukannya.

“Sejauh ini kita punya banyak batubara kalori rendah yang belum jelas penggunaannya. Kalau dipasok ke pembangkit listrik, spesifikasinya kurang. Makanya ini dialihkan untuk kebutuhan DME,” ungkap Dadan dalam jumpa pers virtual, Rabu (22/7).

Saat ini, sudah ada PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang berkomitmen membangun pabrik pengolahan DME di Tanjung Enim. PTBA turut bersinergi dengan PT Pertamina (Persero) sekaligus menggandeng Air Product & Chemicals Inc asal Amerika Serikat dalam menggarap proyek senilai US$ 3,2 miliar tersebut.

Baca Juga: Hingga Juli 2020, Pertamina Bangun 68 Pertashop di Jawa Tengah dan Yogyakarta

Proyek ini pun ditargetkan selesai di akhir tahun 2023. Diharapkan, pabrik DME tersebut dapat memproduksi 1,4 juta ton DME di tiap tahun.

Dadan menyebut, industri DME di Indonesia dinilai bakal tumbuh seiring adanya Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 yang merupakan perubahan kedua UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Beleid anyar ini menekankan kewajiban hilirisasi bagi setiap perusahaan tambang minerba, baik BUMN maupun swasta.

Ia juga berujar, seiring berjalannya waktu akan hadir pula regulasi-regulasi lain dari pemerintah terkait tata kelola industri DME, termasuk aturan mengenai harga DME itu sendiri.

Dalam catatan Kontan, untuk mendorong investasi DME, Kementerian ESDM pernah menyebut akan mengenakan harga khusus bagi batubara yang menjadi bahan baku gasifikasi, yaitu di kisaran US$ 20—US$ 21 per ton.

Menurut Dadan, angka tersebut memang cukup ideal jika diterapkan sebagai bagian dari biaya produksi DME. Sebab, harga batubara kalori rendah yang menjadi bahan baku DME lebih murah ketimbang batubara kalori tinggi. Dengan tren harga batubara yang sedang menurun, tentu bukan mustahil harga batubara kalori rendah akan lebih murah dari biasanya.

Baca Juga: Menurut DEN, inilah empat sektor prioritas konsumen energi di masa pandemi

Yang jelas, harga bahan baku tersebut untuk saat ini dinilai dapat mengakomodasi nilai keekonomian yang menarik bagi produsen DME sekaligus tidak memberatkan bagi masyarakat selaku konsumen akhir.

Ke depan, kata Dadan, pemerintah akan terus membuka kesempatan pembahasan mengenai biaya-biaya produksi DME yang ideal bagi seluruh pihak dengan berbagai pendekatan yang berbeda. Bisa saja pendekatannya dengan mengurangi bagian royalti bagi pemerintah seperti yang terjadi pada harga gas industri.

“Intinya, karena DME ini untuk mengganti LPG, sebisa mungkin harganya lebih rendah dari LPG karena kandungan energinya lebih murah,” jelas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×