Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana menghapus Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), dan mengubahnya menjadi Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK).
Hal itu tertuang dalam Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, yang di dalamnya juga memuat revisi UU No 22/2001 tentang Migas. Pergantian SKK Migas menjadi BUMNK itu tertuang dalam Pasal 4A dan Pasal 64A pada perubahan UU Migas.
Baca Juga: Buruh tolak Omnibus Law Cipta Kerja, BKPM: Investasi dan pekerja saling membutuhkan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Komisi VII Kardaya Warnika bilang langkah ini terbilang tidak tepat. Menurutnya, pemberian wewenang pengelolaan bisnis pada BUMNK hanya akan membuat kinerja menjadi tidak efisien sebab saat ini sudah ada Pertamina yang 100% milik negara.
"Jadi kalau menurut saya kalau kayak gitu maunya bikin suatu institusi yang mengawasi dan untuk juga melakukan katakanlah mandat seperti mengawasi," terang Kardaya ketika dihubungi Kontan.co.id, Senin (17/2).
Kardaya melanjutkan, pembentukan institusi atau otoritas minyak dan gas bumi dapat mencontoh Otoritas Jasa Keuangan. Dengan berfokus pada pengawasan tanpa terlibat di lini bisnis maka peran Pertamina dapat lebih dioptimalkan.
Baca Juga: Menteri Hukum dan HAM: RUU omnibus law bukan permintaan pengusaha
Menurutnya fungsi pengawasan dari otoritas khusus ini pun akan menyasar sektor hulu ke hilir. Nantinya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) dapat diambil alih oleh otoritas khusus ini.
"Bagaimana pengawasan itu bisa dilakukan BPH sementara itu dari Miangas-Rote, Sabang sampai Merauke. BPH cuma ratusan aja orgnya makanya terjadi kelangkaan di daerah, penyelundupan karena kekurangan tenaga dan organisasi BPH dibentuk tidak untuk organisasi pengawas," jelas Kardaya.
Kardaya menilai, nantinya SKK Migas dapat diubah bentuknya menjadi otoritas serupa OJK yang mengurusi migas dengan pemilihan pimpinan melalui fit and proper test di DPR serta persyaratan seleksi yang ketat.
Baca Juga: Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, buruh ancam gelar demo besar-besaran
Hal senada diungkapkan anggota komisi VII lainnya, Dyah Roro Esty ketika dihubungi Kontan.co.id. Menurutnya, fungsi SKK Migas tidak bisa dihapuskan selama Indonesia masih menjalankan dua rezim kontrak cost recovery dan gross split.
"Dalam rezim cost recovery, fungsi SKK sebagai party yang berkontrak dengan KKKS yang mengawasi kinerja mereka agar pendapatan negara bisa maksimal, dalam rezim gross split, fungsi SKK lebih kepada penerapan aspek keamanan operasi dengan melihat "best practices". Jadi fungsi SKK tidak akan hilang," terang Dyah, Senin (17/2).
Dyah menekankan, hal yang dapat diupayakan yakni mendorong kepastian legal dari SKK Migas serta penegasan wewenang dari SKK Migas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News