Reporter: Asih Kirana Wardani, Oginawa R Prayogo | Editor: Asih Kirana
Kendati telah memiliki divisi sumber daya manusia (SDM) sendiri, masih banyak perusahaan besar yang memercayakan perekrutan tenaga kerja profesional berpengalamannya kepada head hunter atau konsultan jasa perekrutan. Tak heran, bisnis head hunter tumbuh bongsor.
Robert Walters, spesialis konsultan jasa perekrutan yang beroperasi di 47 kota besar dunia, mengaku menikmati pertumbuhan yang sangat baik selama hampir empat tahun berbisnis Indonesia. “Dua tahun lalu, jumlah konsultan kami hanya delapan orang. Sekarang, jumlahnya sudah bertambah hampir tiga kali lipat,” ungkap Vicky Semidang, Marketing Manager PT Robert Walters Indonesia.
Tak hanya head hunter asing, jasa head hunter lokal pun menikmati manisnya bisnis ini. Bahkan, Co-founder dan Direktur Assertive Global Service Shirley Novita mengaku, kelesuan ekonomi tidak mempengaruhi bisnisnya. “Tidak terpengaruh karena kami tidak fokus pada sektor tertentu,” tuturnya.
Salah satu strategi AGS agar kinerjanya tidak turun adalah dengan mengikuti tren sektoral. Jika dulu mereka fokus pada sektor perbankan dan asuransi, sejak dua tahun lalu, perusahaan yang berdiri sejak 2011 ini menggeser perhatiannya ke bisnis digital yang sedang jadi tren. Menurut para penyedia jasa perekrutan, tahun lalu, bisnis perbankan, asuransi dan produsen barang elektronika mengalami kelesuan. Sebaliknya, permintaan dari bisnis digital meningkat pesat.
Selama setahun lalu, Shirley mengaku memiliki klien aktif sekitar 25 perusahaan. Kebanyakan dari sektor bisnis digital. “Di tahun 2015 lalu, separuh pendapatan perusahaan berasal dari klien dari sektor bisnis digital ini,” imbuh Shirley tanpa menyebut angka.
Kondisi serupa terjadi di PT Headhunter Indonesia. Founder dan Managing Director Headhunter Indonesia Haryo Suryosumarto mengatakan, klien dari sektor teknologi informasi menyumbang 50% lebih dari pendapatan perusahaan. Sepanjang tahun lalu, perusahaan yang berdiri sejak Mei 2010 ini menangani 35-40 perusahaan. Haryo bilang, saat ini perusahaannya tengah menangani dua startup dari Belanda dan Australia yang menargetkan pasar Indonesia.
Sayang, meski permintaaan klien masih tumbuh, kelesuan ekonomi turut mengikis margin usaha Headhunter Indonesia. Jika pada 2012, perusahaan ini mencetak margin laba bersih 45%, tapi tahun lalu marginnya hanya 30%. “Sebagai perusahaan lokal, harusnya bisa di atas angka ini karena biayanya lebih sedikit dibanding head hunter asing,” ujar Haryo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News