Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) menyoroti tingginya ekspor kelapa bulat (fresh nut) yang menyerap sebagian besar produksi dalam negeri.
Kondisi ini membuat industri pengolahan kekurangan bahan baku meski pasokan kelapa nasional mulai membaik.
Wakil Ketua Umum HIPKI, Amrizal Idroes menyebutkan, nilai ekspor kelapa bulat pada Juli 2025 mencapai sekitar US$ 52 juta, melonjak hampir 150–155% dibanding periode sama tahun lalu.
“Kenaikan produksi saat ini lebih banyak dijual dalam bentuk raw material ke luar negeri, terutama ke China,” ujarnya kepada Kontan, Senin (8/9/2025).
Baca Juga: Menkeu Purbaya Akan Minta Wejangan Sri Mulyani Tentang Permasalahan di Kemenkeu
Di sisi lain, ekspor produk olahan juga tumbuh berkat perbaikan harga global. Ekspor desiccated coconut (DC) tercatat US$ 32 juta, naik lebih dari 85% YoY, sedangkan santan hampir US$ 36 juta atau tumbuh 50–56%.
Sebaliknya, coconut water concentrate justru melemah 24–32% menjadi hanya sekitar US$ 2 juta karena pasokan bahan baku terbatas.
“Industri pengolahan coconut water kekurangan bahan baku karena sebagian besar kelapa bulat sudah diekspor,” kata Amrizal.
Kondisi ini membuat industri kelapa tertekan. Menurutnya, hanya industri yang efisien dan terintegrasi, yang mampu memproduksi berbagai produk dari setiap butir kelapa, mulai dari minyak, santan, karbon aktif, hingga coconut water yang bisa bertahan membeli bahan baku dengan harga tinggi.
Industri yang hanya menghasilkan satu produk, seperti DC saja, lebih rentan berhenti produksi.
Amrizal mengatakan, harga kelapa bulat di tingkat petani saat ini stabil di kisaran Rp 4.500 – Rp 5.000 per butir. Petani pun memiliki opsi untuk menjual ke eksportir atau industri, tergantung siapa yang berani membayar lebih tinggi.
“Kalau harga ekspor lebih menarik, wajar saja petani memilih menjual ke eksportir. Persaingan harga ini yang menekan industri lokal,” jelasnya.
Amrizal menekankan bahwa ekspor kelapa bulat berpotensi mengurangi devisa. Jika diolah dalam negeri, nilai tambah dari setiap butir kelapa jauh lebih besar karena bisa menghasilkan berbagai produk turunan.
“Hitungan kasarnya, ada nilai tambah hampir 1 dollar per butir yang hilang dari setiap kelapa yang langsung diekspor,” ujarnya.
Untuk menyeimbangkan ekspor dengan kebutuhan industri, HIPKI telah mengusulkan pungutan ekspor (export levy) kelapa bulat kepada pemerintah.
Menurutnya, saat ini pemerintah sudah menyiapkan draf kebijakan tersebut, tetapi belum mengetok keputusan final.
“Kalau levy diberlakukan, harga di tingkat petani pasti turun dari level Rp 4.500 – Rp 5.000. Pemerintah sedang berhitung apakah penurunan ini masih bisa diterima petani,” tambahnya.
Ke depan, Amrizal menilai strategi jangka panjang industri harus diarahkan pada efisiensi, integrasi produksi, dan kemitraan dengan petani, misalnya melalui skema profit sharing.
Selain itu, program peremajaan pohon kelapa yang direncanakan pemerintah juga menjadi kunci keberlanjutan.
“Kalau tidak segera dilakukan, industri bisa terancam karena banyak pohon kelapa sudah tua. Kita berharap program replanting benar-benar jalan agar dalam tiga sampai lima tahun ke depan produksi meningkat,” pungkasnya.
Baca Juga: IHSG Ambles 1,28% Senin (8/9): Saham Rokok Justru Terbang, Ada Apa?
Selanjutnya: Kementerian ESDM Tambah Pembangkit Listrik ke Daftar Penerima Gas Murah
Menarik Dibaca: Ramalan Zodiak Keuangan dan Karier Selasa 9 September 2025, Siap-Siap Peluang Baru
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News