Reporter: Sofyan Nur Hidayat | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Impor produk pakaian jadi atau garmen sejak bulan Januari hingga April 2011 mengalami kenaikan hingga 44,59% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Lonjakan impor produk garmen terjadi karena importir membuat stok untuk persiapan Lebaran pada bulan Agustus nanti.
Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan selama bulan Januari hingga April 2011 nilai impor garmen mencapai US$ 49,31 juta. Angka itu mengalami pertumbuhan sebesar 44,59% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar US$ 34,11 juta.
Ketua Harian Asosiasi Pemasok Garmen dan Aksesoris Indonesia (Apgai) Suryadi Sasmita mengatakan, impor garmen mengalami kenaikan rutin menjelang Lebaran. "Saat Lebaran nanti, kebutuhan pakaian jadi mengalami kenaikan tiga hingga empat kali lipat dari bulan sebelumnya," kata Sasmita, Rabu (11/5).
Selain untuk persiapan Lebaran, peningkatan nilai impor garmen disebabkan oleh banyaknya mall atau toko baru yang buka. Dari kenaikan impor sebesar 44,59%, setidaknya sebanyak 10% di antaranya karena dipergunakan untuk toko yang baru buka. Sisanya karena peningkatan penjualan sebanyak 20% dan stok Lebaran sebesar 15%.
Impor produk garmen ini didominasi oleh China. Sedangkan untuk bahan baku tekstilnya, Indonesia banyak mengimpor dari India.
Investasi China di sektor garmen
Pertumbuhan pasar garmen di dalam negeri juga menarik minat pengusaha China untuk relokasi industri di Indonesia. Menurut Suryadi jumlah pengusaha China yang berinvestasi di industri garmen di Indonesia sekitar 60 pengusaha.
Mereka membeli mesin dengan jumlah masing-masing antara 500 hingga 1.000 unit. Banyaknya, pengusaha China yang membeli mesin membuat pengusaha garmen lokal kesulitan untuk mendapatkan mesin garmen.
Di tengah tumbuhnya pasar garmen, daya saing produk lokal di pasar retail modern mengalami penurunan. Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Satria Hamid Ahmadi mengatakan, sebagian besar pakaian yang dijual di ritel modern adalah brand internasional yang mencapai 70%.
Sedangkan brand lokalnya hanya sekitar 30%. "Desain fesyen lokal lebih susah diterima pasar karena modelnya yang terlalu tinggi," kata Satria.
Wakil Ketua APGAI, Eddy Hartono mengatakan merk fesyen dalam negeri memang kurang diminati oleh pasar. Menurut Eddy semestinya desain untuk masyarakat umum dibuat lebih sederhana. Desain yang terlalu kreatif justru tidak disukai oleh masyarakat umum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News