Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah menurunnya pasokan gas bumi dari sektor hulu, pemerintah disarankan membuka opsi impor sebagai solusi sementara untuk menambal kebutuhan industri dalam negeri, khususnya non-PGBT (Pengguna Gas Bumi Tertentu).
Langkah ini dinilai perlu dilakukan lantaran pasokan gas pipa yang ada saat ini diprioritaskan bagi industri penerima Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), sehingga banyak pelaku industri lainnya harus rela membayar lebih mahal untuk mendapatkan suplai gas.
Baca Juga: Lima Investor Hulu Migas Baru Siap Teken Kontrak di IPA Convex 2025
“Impor bisa jadi salah satu solusi jangka pendek selain realokasi gas ekspor untuk domestik,” ujar Fahmy Radhi, Ekonom Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam keterangannya Rabu (24/4).
Menurutnya, membuka opsi impor justru bisa memberikan alternatif harga terbaik di pasar. Ia menilai, tidak masalah bila harga gas dalam negeri (hasil realokasi ekspor) justru lebih tinggi dibandingkan harga impor.
“Kalau gas dari ekspor dijual ke domestik tapi harganya tetap mahal, dan impor bisa lebih murah, ya silakan saja. Biarkan mekanisme pasar berjalan. Yang penting, pelaku impornya harus institusi yang kompeten, bisa mengukur supply dan demand secara akurat,” tegas Fahmy.
Namun, ia menekankan bahwa solusi impor hanya bersifat antara. Dalam jangka panjang, kunci utama ada di pembangunan infrastruktur jaringan gas nasional.
Ia mendorong pemerintah untuk tidak bergantung pada swasta dalam pembangunan jaringan gas, melainkan menggunakan dana APBN seperti membangun jalan tol.
Baca Juga: DPR: Pembangkit Nuklir akan Menggantikan Pembangkit Listrik Gas dalam RUPTL 2025-2034
“Blok Masela itu kan sumber gas abadi. Tapi karena belum ada infrastrukturnya, potensinya belum tergarap maksimal. Maka pembangunan infrastruktur pipa gas harus jadi prioritas. Ini keniscayaan kalau mau capai swasembada energi,” tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral & Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira, juga mendesak pemerintah segera bertindak menyikapi kesenjangan pasokan gas domestik.
Ia menyoroti ketimpangan harga dan suplai antara industri PGBT dan non-PGBT.
“Industri non-PGBT harus membayar lebih mahal karena tidak mendapat prioritas. Ini tidak adil. Kami minta pemerintah segera turun tangan mengamankan pasokan dan memastikan harga yang wajar bagi seluruh sektor industri,” kata Anggawira.
Salah satu solusi yang disuarakan Aspebindo adalah realokasi sebagian gas ekspor untuk kebutuhan dalam negeri.
Baca Juga: Wamenperin Faisol Riza Buka Suara Soal Harga Gas HGBT dan Non-PGBT yang Jomplang
Namun opsi ini dinilai tetap menantang karena alokasi ekspor biasanya sudah memiliki kontrak jangka panjang dan harga yang tinggi.
“Kuncinya adalah keadilan dan kepastian. Jangan sampai industri dalam negeri yang menopang ekonomi justru terbebani oleh kebijakan yang timpang,” pungkas Anggawira.
Selanjutnya: Ekalya Purnamasari (ELPI) Telah Kantongi Kontrak Rp 9 Miliar
Menarik Dibaca: Didominasi Cerah, Begini Prakiraan Cuaca Besok (25/4) di Jawa Tengah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News