Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam ekosistem baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) berbasis nikel menghadapi tantangan serius.
Salah satunya adalah keterbatasan akses terhadap bijih nikel kadar rendah atau limonit, bahan baku penting dalam produksi baterai EV.
Baca Juga: Indonesia Kendaraan Terminal (IPCC) Layani Kapal BYD Zhengzhou Kapasitas 7.000 Unit
Sebagai informasi, nikel di Indonesia terbagi menjadi dua jenis utama:
Saprolit (nikel kadar tinggi, >1,5%), biasa diolah menggunakan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) untuk menghasilkan feronikel, bahan utama industri baja nirkarat (stainless steel).
Limonit (nikel kadar rendah), umumnya diproses menggunakan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) untuk menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) bahan baku utama baterai EV tipe NMC (Nickel Manganese Cobalt).
Baca Juga: Rentetan Insiden Kereta Anjlok, Pemerintah Siapkan Investigasi Menyeluruh
Namun menurut Dewan Penasihat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno, saat ini hanya sebagian kecil pelaku industri yang memiliki akses terhadap bijih limonit secara komersial.
"Di antara sekitar 300 anggota APNI, hanya 60–100 penambang yang memiliki akses atau menambang limonit secara aktif," kata Djoko kepada Kontan.co.id, Rabu (6/8/2025).
Persaingan Teknologi Baterai
Djoko juga mencermati bahwa baterai EV berbasis nikel (NMC) kini tengah bersaing ketat dengan baterai berbasis lithium iron phosphate (LFP). Secara global, porsi penggunaan antara keduanya kini hampir seimbang.
"Rasio global baterai NMC dan LFP saat ini sekitar 50:50. Di China, porsi LFP bahkan sudah lebih dari 60% karena mayoritas produsen di sana memilih baterai lithium," jelas Djoko.
Namun di pasar Eropa dan Amerika Serikat, baterai berbasis NMC masih dominan, terutama karena kebutuhan jarak tempuh lebih jauh dan performa yang lebih tinggi.
Baca Juga: Bahlil: Indonesia Ekspor Prekursor Baterai Kendaraan Listrik untuk Tesla Lewat Huayou
Permintaan Global Masih Didominasi Baja
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia hingga saat ini permintaan global terhadap nikel masih didominasi oleh industri baja nirkarat, yakni sekitar 65% dari total permintaan. Sementara kontribusi dari industri baterai EV baru sekitar 13%–15%.
"Pelaku industri nikel nasional masih terus mengamati dan mempelajari dinamika pasar nikel dunia," kata Hendra kepada Kontan.co.id dalam pernyataan terpisah.
Hendra menambahkan, jika Indonesia serius ingin meningkatkan kontribusi pada rantai pasok baterai global, maka pembangunan smelter HPAL perlu dipercepat.
"Beberapa proyek HPAL saat ini masih dalam tahap konstruksi. Sepengetahuan kami, belum ada investasi HPAL di Indonesia yang dibatalkan atau ditunda," tegasnya.
Baca Juga: Ketua Id Battery Gaungkan Visi Baterai Indonesia di Panggung Dunia
Cadangan Limonit Terbatas
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2024, dari total cadangan bijih nikel Indonesia sebesar 5,32 miliar ton, hanya sekitar 40% berupa limonit, sementara 60% lainnya adalah saprolit.
Kondisi ini menjelaskan mengapa pengembangan industri baterai EV nasional berbasis nikel menghadapi tantangan dari sisi hulu, terutama dalam ketersediaan bahan baku limonit secara komersial dan berkelanjutan.
Selanjutnya: Kode Redeem FC Mobile Terbaru (Agustus 2025), Simak Cara Dapat Gem Gratis
Menarik Dibaca: Serbu! Promo Air Asia Flash Sale 48 Jam 7-8 Agustus 2025, Diskon Tiket sampai 30%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News