Reporter: Sofyan Nur Hidayat | Editor: Imanuel Alexander
Produsen mobil merek lokal menyambut dingin program low cost and green car (LCGC). Kehadiran mobil murah itu membuat mobil lokal kian susah bersaing. Tanpa perlindungan dari pemerintah, industri lokal yang baru lahir bakal segera mati.
Saat produsen otomotif besar berdebar menunggu keluar aturan soal mobil murah dan ramah lingkungan (LCGC), para pelaku industri mobil merek lokal justru sebaliknya. Mereka pesimistis menghadapi masa depan. Selama ini saja mobil lokal tidak mampu bersaing di pasar. Apalagi dengan kehadiran mobil murah buatan agen tunggal pemegang merek (ATPM), mobil lokal bakal semakin tenggelam.
Tahun lalu, publik Indonesia memang sempat merasakan euforia mobil nasional dengan kehadiran mobil Esemka karya siswa SMK di Solo. Sayangnya, gaung mobil nasional tidak bertahan lama. Belum sempat tumbuh, produsen lokal harus menghadapi tantangan berat lantaran harus bersaing dengan mobil murah ATPM yang secara teknologi jauh lebih maju.
Ketua Umum Asosiasi Industri Automotive Nusantara (Asia Nusa) Ibnu Susilo menilai, mobil merek lokal akan semakin tersingkir dengan program LCGC. Maklum, LCGC banyak mendapatkan subsidi dari pemerintah, sedangkan mobil lokal tidak. “Industri mobil lokal pasti mati,” tandasnya.
Apalagi di belakang ATPM merupakan prinsipal asing yang sudah membangun industri selama ratusan tahun. Sedangkan prinsipal lokal baru lahir dua tahun–tiga tahun terakhir. Seperti bayi yang baru lahir, prinsipal lokal tidak punya kemampuan bertahan jika harus bersaing dengan prinsipal asing.
Ibnu bilang, industri otomotif di negara lain bisa tumbuh karena dilindungi pemerintah selama 15 tahun hingga 25 tahun. Di Indonesia, produsen lokal hanya meminta perlindungan untuk memproduksi mobil dengan kapasitas mesin sampai 1.000 cc. Sedangkan merek asing hanya diizinkan bermain di segmen 1.300 cc ke atas. “Saya dan teman-teman sebenarnya sudah minta ke pemerintah, tapi ditolak dan dibiarkan bersaing bebas,” kata Ibnu.
Dengan peluncuran mobil Agya dan Ayla yang mengusung konsep LCGC, Ibnu mengatakan, produsen mobil lokal langsung mengerem produksinya. Jika program LCGC berjalan, mobil lokal tinggal menunggu mati. Industri lokal hanya bisa bertahan jika pemerintah menghentikan program LCGC dan melarang mobil merek asing masuk ke segmen mobil 1.000 cc ke bawah.
Asia Nusa, menurut Ibnu, bercita-cita membangun budaya industri otomotif nasional. Dengan status sebagai prinsipal, nilai lebih yang diberikan kepada negara lebih besar. Kontribusi terhadap devisa juga semakin besar. Berbeda dengan ATPM, meskipun mengusung nama dan simbol lokal tapi kepemilikannya asing dan uangnya dibawa ke luar negeri.
Dewa Yuniardi, Direktur Pemasaran PT Super Gasindo Jaya yang memproduksi mobil Tawon, pun meminta agar program LCGC jangan dilanjutkan. “Industri mobil lokal akan mati sendiri karena kalah bersaing,” tuturnya.
Dewa bilang, dengan banyaknya insentif yang diterima peserta program LCGC, harga mobil menjadi antara Rp 75 juta hingga Rp 100 juta. Perbedaan harga mobil lokal dan mobil LCGC tak terpaut jauh. Sebagai pembanding, harga mobil lokal seperti Fin Komodo Rp 70 juta, Tawon Rp 50 juta, dan Gea seharga Rp 55 juta.
Menurut Dewa, jika menghitung selisih cicilan per bulan yang dibayar pembeli untuk membeli mobil merek lokal dan LCGC yang hanya sekitar Rp 200.000 hingga Rp 300.000, orang akan lebih memilih mobil LCGC ketimbang mobil merek lokal. “Mobil nasional bukan jadi pilihan,” kata Dewa.
Industri mobil lokal, menurut Dewa, tidak mendapat dukungan dari pemerintah. Sebelumnya, pemerintah pernah menyampaikan akan memberikan dukungan untuk pengembangan mobil nasional sebesar Rp 50 miliar. Tapi, bantuan itu tidak pernah direalisasikan.
Pengamat otomotif Martin T. Teiseran juga sependapat bahwa kehadiran LCGC akan memukul industri mobil lokal. “Mobil nasional sangat terpukul dan tidak akan mampu bersaing,” kata Martin.
Alasannya, Martin menilai mobil merek lokal itu tidak memiliki keunggulan seperti yang dimiliki mobil LCGC yang dikeluarkan oleh ATPM. Mobil merek lokal tidak bisa memberikan harga murah dengan desain bagus. Mobil lokal juga belum memiliki jaringan purnajual yang luas dan tidak didukung oleh tim pemasaran yang kuat. Selain itu, tanpa jaminan mobil bekasnya tidak anjlok.
Menggarap kota kecil
Agar bisa bertahan, industri mobil lokal harus menyiapkan strategi khusus. Dewa yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Pemasaran dan Komunikasi Asia Nusa mengakui, strateginya adalah menghindari perbenturan langsung dengan LCGC di pasar. “Kami akan menggarap wilayah pemasaran bukan di kota-kota besar, tapi di daerah-daerah,” katanya.
Selain itu, mobil lokal seperti Tawon akan memosisikan sebagai kendaraan angkutan, bukan mobil pribadi. Menurutnya, mobil mewah relatif tidak dijadikan sebagai mobil angkutan, terutama di kota-kota kecil.
Untuk promosi, mobil merek lokal, menurut Dewa, tidak ikut dalam gelaran Indonesia International Motor Show (IIMS) 2012 karena tidak diajak penyelenggara. Tahun sebelumnya, Asia Nusa diundang tapi menolak setelah ada statement dari Gaikindo yang terkesan menjelekkan mobil merek lokal.
Meskipun sebagian besar pelaku industri mobil lokal dihinggapi rasa pesimisme, tidak demikian dengan produsen mobil Esemka. Direktur operasional PT Solo Manufaktur Kreasi (SMK) Sulistyo Rabono tetap positif menanggapi kehadiran LCGC. “Kami tidak merasa terancam dengan kehadiran LCGC karena setiap produk selalu memiliki segmen pasar sendiri,” kata Sulistyo.
Saat ini, SMK terus mempersiapkan produksi mobil Esemka dengan merampungkan pabrik di Solo. Sebagai pendukungnya, Sulistyo bilang, mereka tengah menggalang industri kecil dan menengah (IKM) di daerah sekitarnya sebagai pemasok komponen.
SMK berupaya mencari peluang dan mengikuti permintaan pasar, termasuk kemungkinan memproduksi mobil 1.000 cc seperti LCGC. “Kami sedang mempersiapkan desain mesin 1.000 cc,” jelasnya.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 51 XVI 2012 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News