kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

GPMT: Kebutuhan jagung buat ternak naik 6%


Kamis, 04 Januari 2018 / 16:23 WIB
GPMT: Kebutuhan jagung buat ternak naik 6%


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) memperkirakan kebutuhan jagung untuk pakan ternak tahun ini akan meningkat 6-8% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini sejalan dengan produksi jagung nasional yang juga diperkirakan meningkat.

“Kebutuhan jagung untuk ternak sesuai dengan peningkatan produksi jagung nasional. Tahun ini diperkirakan produksi jagung nasional juga meningkat 6-8%,” ujar Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), Desianto Budi Utomo kepada Kontan.co.id, Kamis (4/1).

Menurut Desianto, tahun lalu kebutuhan jagung sebagai bahan baku untuk pakan ternak rata-rata sebesar 650.000 ton per bulan atau sekitar 7,8 juta ton hingga 8 juta ton dalam setahun.

Meski diperkirakan meningkat, namun Desianto mengaku belum mengetahui apakah nantinya produksi jagung nasional akan mampu memenuhi kebutuhan jagung untuk pakan ternak. Namun, dia berharap produksi nasional akan cukup untuk pakan ternak.

Saat ini pemerintah sedang gencar meningkatkan produksi jagung. Desianto pun turut mengapresiasi langkah pemerintah ini. Namun, dia meminta supaya pemerintah turut memperhatikan akses infrastruktur pasca panen serta logistik.

“Jadi pemerintah tidak hanya membagikan alsintan, pupuk dan benih. Dryer dan akses infrastruktur juga harus dipenuhi,” ujar Desianto.

Menurut Desianto, pembenahan akses infrastruktur pasca panen ini dapat membantu petani mengirimkan jagungnya ke wilayah yang jauh.

Terlebih, banyak wilayah penghasil sentra jagung namun tidak terdapat pabrik pakan ternak. Akhirnya, produksi jagung tersebut hanya diserap oleh penduduk lokal, sementara serapan jagung lokal sangat terbatas.

Produsen-produsen jagung dari wilayah timur Indonesia juga sulit untuk bersaing dengan produsen jagung di wilayah lain. Setidaknya, harus ada tambahan untuk ongkos transportasi.

“Produsen jagung dari Sulawesi contohnya, harus menambah biaya transportasi Rp 350 per kg, padahal mereka juga harus bersaing dengan produsen dari wilayah lain,” tambah Desianto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×