Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) mencatat kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) selama 5 tahun terakhir telah menjadi beban berat yang menghambat pertumbuhan industri.
“Kami merasakan bahwa kenaikan cukai lima tahun terakhir ini sangat memberatkan,” sebut Ketua Umum Gaprindo Benny Wahyudi kepada Kontan, Senin (22/9/2025).
Ia menyoroti kenaikan CHT saat pandemi Covid-19 tahun 2020. Kala itu, ketika daya beli masyarakat melemah, CHT tetap naik 23%, dan terus naik berturut-turut hingga pada 2024 kenaikannya mencapai 67,5%.
Baca Juga: Peredaran Rokok Ilegal Kian Marak, Gaprindo: Industri Tembakau Kian Tertekan
Padahal, pada saat pandemi banyak industri yang menikmati program Pemulihan Ekonomi Nasional.
Benny bilang pada dasarnya industri tembakau mempunyai struktur yang tangguh dan cenderung terus relevan.
Hanya saja, sehubung dampak negatif terkait kesehatan, industri ini mau tak mau dikendalikan secara ketat, baik dengan kebijakan fiskal melalui tarif cukai maupun dengan kebijakan non-fiskal melalui regulasi menteri dan pemerintah daerah.
Namun, ia bilang pemerintah bisa saja mengenakan tarif CHT di bawah 57% dari harga jual eceran (HJE), mengingat Undang-undang Cukai yang tertuang dalam UU No. 39/2007 menyebut persentase 57% merupakan batas maksimum.
Pasalnya, kenaikan tarif yang dimaksudkan untuk mengurangi konsumsi rokok di masyarakat pada kenyataannya malah membuat peredaran rokok ilegal, yang dijual murah karena tak membayar pajak, kian masif.
Baca Juga: Gaprindo: Larangan Merokok di Klub Hambat Industri Rokok dan Pengusaha Hiburan
“Sangat tidak ada artinya dalam pengendalian produksi dan prevalensi perokok apabila produsen legal turun (tapi) konsumsi masyarakat digantikan oleh rokok ilegal,” tegas Benny.
Gaprindo mencermati pasar rokok ilegal sudah lebih dari 40% saat ini. Ketika produsen rokok legal masih berusaha menaati peraturan dengan membayarkan kewajiban cukai dan pungutan lainnya hingga 75% dari HJE, industri pada gilirannya bisa kalah dari “pemain hitam”.
Benny menyebut produksi rokok putih saat ini turun drastis. Sebagai gambaran, pada 2020 produksi SPM (sigaret putih mesin) masih di atas 15 miliar batang, tetapi pada 2024 sudah turun ke bawah 10 miliar batang.
Pada gilirannya, hal ini bakal memengaruhi kemampuan pengusaha dalam manajemen tenaga kerja.
Benny memastikan hingga saat ini belum ada pengurangan pekerja secara signifikan di industri, tetapi peluang untuk merekrut pekerja baru yang sudah pensiun juga terbatas. Artinya, tetap terjadi penurunan jumlah pekerja di industri.
Baca Juga: Pemerintah Target Hapus Peredaran Rokok Ilegal dalam Tiga Bulan ke Depan
Maka dari itu, ia meminta pemerintah untuk memberlakukan moratorium kenaikan CHT dan HJE selama tiga tahun, jika memang penurunan CHT tidak memungkinkan. Dengan kata lain, kenaikan cukai CHT dan HJE diharapkan tak terjadi setidaknya dalam tiga tahun ke depan.
“Moratorium adalah untuk menurunkan rokok ilegal. Akan lebih baik lagi bila ada penurunan CHT,” tandas Benny.
Selanjutnya: Kemendag Bidik Transaksi Dagang TEI 2025 Tembus US$ 16,5 Miliar
Menarik Dibaca: Token SUN Melejit 33%, Masuk Top Gainers saat Pasar Kripto Turun Tajam
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News