Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Ekonomi China yang mulai memanas membuat kebutuhan batubara di negeri tersebut melonjak. Alhasil, harga batubara pun merambat naik.
Bulan September ini semisal, harga batubara acuan (HBA) tercatat US$ 63,93 per ton atau naik 9,5% dari harga per Agustus lalu yakni US$ 58,37 per ton. Ini merupakan lonjakan harga yang terbesar sepanjang tahun ini.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono memproyeksi, lonjakan harga batubara bakal terus berlangsung hingga akhir tahun ini.
Selain faktor ekonomi China, kenaikan ini juga dipicu produksi batubara di negeri Tirai Bambu tersebut yang terus menurun. "Ini membuat impor batubara dari China makin banyak, begitu juga dengan India," terangnya kepada KONTAN, Rabu (14/9).
Faktor lain yang turut membuat lonjakan harga acuan komoditas hitam ini adalah industri tekstil dan alas kaki di Bangladesh juga lagi berkembang. Selain itu ada permintaan batubara untuk pembangkit listrik di Pakistan.
Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia bilang kenaikan harga acuan batubara sampai 9% lebih ini melebihi ekspektasi pelaku pasar. "Sebelumnya ada prediksi kenaikan harga batubara karena harga batubara sudah mencapai titik terendah," ujarnya kepada KONTAN (14/9).
Hendra pun optimistis kenaikan harga batubara masih bisa terus berlangsung hingga kuartal IV tahun ini. Kalaupun turun, ia prediksi tidak terlalu dalam. Namun, ia tidak merinci besaran kenaikan harga batubara acuan ini.
Kondisi ini membuat produsen batubara yang kerap mengekspor komoditas tambang ini langsung tersenyum, Seperti PT Adaro Energy Tbk (ADRO).
Berkah eksportir
Menurut Garibaldi Thohir, Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk (ADRO), bila harga batubara di pasaran bertahan di kisaran US$ 65 - US$ 70 per ton, bisa membuat kinerja Adaro bisa positif. Ia optimistis, pergerakan harga batubara tahun depan pun akan lebih bagus lagi dari tahun ini. "Insya Allah lebih bagus dari tahun ini," katanya ke KONTAN (14/9).
Selain faktor China, kebutuhan batubara sejumlah negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Thailand, Malaysia serta Indonesia sendiri bakal melonjak tahun depan. Permintaan ini untuk memenuhi kebutuhan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang mulai bertambah di negara tersebut. Ini termasuk Indonesia yang mulai ada PLTU yang beroperasi tahun depan.
Sedangkan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) juga bakal terkena imbas positif dari lonjakan harga batubara tersebut. Soalnya, kata Adib Ubaidilah, Sekretaris Perusahaan Bukit Asam, sekitar 50% dari total produksi batubara perusahaan pelat merah ini tertuju ke pasar ekspor. "Ini menjadi berkah bagi Bukit Asam" katanya ke KONTAN.
Namun, baik Adaro Energy maupun Bukit Asam tidak merinci target penjualan ekspor yang dibidik kedua perusahaan tersebut sampai akhir tahun ini.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, produksi perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Bautbara (PKP2B), yang menyumbang 60%-80% produksi batubara nasional, periode Januari-Juni 2016 mencapai 101,22 juta ton. Jumlah tersebut terpangkas 29,55% dibanding produksi Januari-Juni 2015 yang tercatat 143,68 juta ton.
Merosotnya produksi tersebut dikarenakan kinerja ekspor yang anjlok dibandingkan tahun lalu. Pada paruh pertama tahun ini ekspor batubara baru mencapai 80,22 juta ton. Turun 31,63% dari realisasi ekspor semester I tahun lalu sebanyak 117,328 juta ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News